“Kalau dipikir-pikir, semakin hari makin banyak tanda kiamat yang muncul.” Kata Gus Hafidz di warung.
“Empat puluh tahun sebelum Dajjal muncul, manusia akan ditimpa kelaparan dan kekeringan. Makanya ketika Dajjal muncul menjadi pahlawan kesiangan, banyak yang keblinger menjadi pengikutnya,” tambahnya.
“Sekarang saja, tanda -tanda kelaparan dan kekeringan sudah makin jelas,” sambung Gus Hafidz.
“Sepuluh tahun lalu, di daerah subur seperti Gondangwetan, Winongan dan Rejoso seakan kiamat masih lama. Pohon-pohon besar masih banyak. Kebun salak, kebun mangga dan barongan rimbun di mana-mana. Makanya sumber air melimpah. Pertanian dan kebun-kebun subur sehingga masyarakat sudah berkecukupan hanya dengan menggarap sawah serta mengandalkan tanaman musiman. Karena memang Gusti Allah Maha Kuasa untuk mempercepat kiamat, ujug-ujug gerakan perusakan alam nggruduk terjadi. Kita memang ndak punya alat dan kemampuan untuk menyedot air tanah hingga kerontang, ndak punya itikad untuk merobohkan gunung, menggali bukit dan meracuni sungai, tambak dan laut, tapi Gusti Allah langsung memberi kita pemimpin yang begitu loman kepada investor untuk membubuhkan cap jempol izin perusakan, eh pemanfaatan alam. Bahkan dengan sukarela kita ikut cancut tali wondo menjual tegal untuk ditambang, ikut bikin sumur artesis untuk mengairi kolam lele atau membikin usaha cuci karpet serta membuang apa saja ke sungai. Ahirnya, dalam sekejap alam menjadi kritis.”
Gus Hafidz lantas menyeruput kopi Firman Murtado, joinan.
“Lha sekarang, rupanya bukan hanya ekosistem yang kritis. Wedus gibas tiba-tiba menjadi rentan, bahkan mati secara berjamaah,” timpal Ustadz Karimun.
“Kalau menurut saya, paling ya terkena antrax,” ujar Mas Bambang asal-asalan.
“Katanya bukan, mas. Kemarin peneliti dari Jogja bilang bukan antrax,” Firman Murtado menimpali.
“Lha terus apa, masa flu gibas?”
Mas Bambang ndak terima analisisnya dimentahkan.
“Mungkin wabah,” jawab Ustadz Karimun.
“Kita bukan ahli apa ya? Kalau menurut dugaan saya, mungkin karena makanan. Sekarang kan sulit mencari rumput? Area persawahan makin sempit, gibas sampai makan plastik dan popok bekas segala,” kata Gus Hafidz.
“Lho, lokasinya di perkotaan ta? Masa gibas yang mati itu makan plastik dan sampah seperti di daerah pesisir?” tanya Arif.
“Kalau lihat foto di berita, kejadiannya sepertinya di desa,” ujar Firman Murtado yang biasa mengikuti perkembangan pitenah, eh berita di online.
“Berarti bukan karena keracunan makanan. Bisa jadi terserang virus aneh, sekarang kan, banyak muncul virus baru karena alam ini sudah sangat beracun oleh bermacam limbah dari kegiatan produksi kebutuhan manusia yang juga bermutasi menjadi post omnivora?” kata Gus Hafidz.
“Kalau dugaan saya, pasti karena pengaruh iklim yang ekstrim. Seperti panda yang kian punah, jangan-jangan gibas sudah ndak mampu menyesuaikan diri terhadap iklim,” kata Cak Soleh.
“Kalau penyebabnya iklim, seluruh wedus gibasbdi dunia ini almarhum semua, cak. Lha di daerah lain masih sehat wal afiat, kok,” sanggah Firman Murtado.
“Iya, ya?” Gus Hafidz membenarkan Firman Murtado.
“Ya wes kalau begitu. Kita bukan ahli dan kejadiannya bukan di kampung kita, angur ngomong liane,” kata Mas Bambang apatis.
“Ya ndak ngono, mas. Ini antisipasi saja. Mumpung belum merembet ke sini, mungkin kita bisa mencegahnya. Apalagi ini hampir hari raya qurban. Kasihan Wak Takrip kalau gibase ikut almarhum. Barangkali dari ngomong-ngomong begini kita temukan sedikit titik terang buat jaga-jaga” kata Firman Murtado.
“Sik, sik, saya khawatir ini termasuk skenario bencana kelaparan seperti kata Gus Hafidz tadi?” ujar Cak Soleh.
“Mosok saiki, cak? Jangan meden-medeni, saya belum kawin,” kata Arif.
“Saya ngomong ndak asal njeplak. Kita kan ingat, bebek, pitik, doro bahkan kucing pernah banyak yang mati begitu?”
“Iya, ya?” semua mengangguk kecuali Mas Bambang.
“Dulu, celeng dan luwak banyak berkeliaran di rimbun bambu. Bahkan nyambek sampai bertelur di bawah amben. Berhubung alam makin tak nyaman oleh ekspansi manusia, mereka makin punah. Saya khawatir sekarang giliran wedus yang dikukut sama Gusti Allah.”
“Ngawur, wong suket masih banyak!”
“Ya benar, tapi suket sekarang beracun karena selalu disemprot pestisida,” kata Cak Soleh.
“Kalau pestisida pada rumput langsung mematikan, kenapa manusia sehat wal afiat? malah ibu-ibu sekarang sibuk diet dan aerobik?” Mas Bambang ndak terimo.
“He he, manusia kan kuat, mas? Jangankan pestisida pada beras, wong aspal, semen, koral dan apa saja kita makan, kok? Manusia juga sangat tahan terhadap seleksi alam, wong laut bisa asat, gunung dikeduk, alas dijadikan lalapan,” ujar Firman.
“Jadi, jangan-jangan gibas yang mati itu sudah ndak tahan hidup di alam yang serba beracun ini,” kata Ustadz Karimun.
“Sepertinya iya, sebab menurut Kanjeng Nabi, Dajjal akan muncul kalau pitenah atau hoax merajalela. Dan sekarang, pitenah alias hoax sudah ada yang kulak.”
________
Penulis : Abdur Rozaq (WartaBromo)
Catatan : Tulisan ini hanya fiksi semata,
Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan.