Seperti kebanyakan rakyat Indonesia Raya yang tak kebagian bancakan, Firman Murtado selalu uring-uringan sepanjang bulan Agustus ini. Nasionalisme, menurut Firman Murtado adalah ngamuk dan maiduh. Sebab tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengisi kemerdekaan selain dengan dua hal tersebut.
Ia sudah mengisi kemerdekaan dengan menjadi tukang cukur semi profesional yang berjuang memperganteng rakyat Indonesia. Sehingga meski rakyat banyak hutang, gagal panen, kurang gizi dan lontang-lantung menganggur, bisa nampak sedikit semringah.
Menjadi tukang cukur, ia dedikasikan sebagai bentuk pengabdian kepada bangsa dan negara. Kenapa begitu? Karena meski ia pernah kuliah, menjadi aktivis kampus bahkan pernah beberapa kali pitenah, eh artikelnya masuk koran, ia ndak berani ngelunjak.
Misalnya coba-coba beli NIP, nyalon kepala desa, nyalon Be Pe De, mendaftar sebagai orang yang ngawasi pemilu, menjadi pengurus Pe eN Pe eM apalagi nyaleg.
Dengan menjadi tukang cukur itulah bentuk nasionalismenya ia wujudkan. Kenapa? Karena menjadi tukang cukur tidak pernah ikut mensukseskan gerakan utangisasi nasional kepada bank dunia dan IMF.
Alhamdulillah, doa Firman Murtado dikabulkan oleh Gusti Allah. Dalam setiap doa, ia memang memohon kiranya Gusti Allah tidak menjadikan ia sebagai benalu bangsa.
Tidak ditakdirkan ikut-ikutan menjadi panitia pembangun gorong-gorong yang malah menjadi peternakan aides aygepty itu.
Tidak pernah terlibat dalam gerakan ngeriwuki negoro dengan menjadi misalnya, orang yang mengawasi pemilu tapi ndak berani menegur praktek money politic, beras politik, kaos oblong politik serta kalender politik.
Alhamdulillah, ia juga ndak berani mendirikan sebuah yayasan yang mendapat dana dari pemerintah untuk dijadikan perusahaan pribadi. Ia ndak berani sepesepun menelan uang negara tanpa ditukar dengan cucuran keringat.
Mungkin karena doanya itu juga, Firman Murtado dianggap berada oleh para pamong desa. BLT, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, subsidi listrik, subsidi gas bahkan raskin ia tak pernah merasakan apeknya.
Ia hanya pernah menerima satu kartu dari Wak Carik, yaitu KARTU INDONESIA SABAR.
Makanya Firman Murtado punya ketahanan mental tersendiri menghadapi mundaknya tarif listrik, beras, LPG, garam, pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan, pajak pendapatan, iuran parkir, iauran ini-itu serta segenap sumbangan terhadap negara.
Dengan Kartu Indonesia Sabar itu juga, secara aneh ia bisa sabar meski mengurus KTP lebih rumit dari birokrasi masuk sorga. Ia sabar meski setiap detik pitenah di media sosial mengatakan jika hutang negaranya mencapai ambang bahaya, radikalisme menjamur, umat dikaploki dan ketika membela diri dituduh radikal.
Sebagai warga negara yang baik, Firman Murtado selalu memegang erat mantera yang diwariskan Mbah Hasjim Asjarie : Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Hanya saja, demi penyesuaian terhadap zaman, ia mengubah sebagian bunyi mantera itu menjadi : “RAWE-RAWE RANTAS, MALANG-MALANG NASIBMU”
M E R D E K A !
_________
Penulis : Abdur Rozaq (WartaBromo)