Yang namanya hidup, memang tak lepas dari ujian. Tapi yang menimpa rakyat di kampung Cak Manap, lebih rutin dan komplit. Pusing akibat nemblongi utang biaya pesta lebaran belum usai, biaya anak sekolah memasuki tahun ajaran baru bikin pening susulan.
Laep regional sudah dan sedang melanda kampung Cak Manap akibat panen gagal karena rakyat makin suka membuang sampah ke saluran irigasi, pengusaha rajin merusak alam, pemerintah mengizinkan semua itu dan PBB tanpa sungkan-sungkan merestuinya.
Arif yang sejak wisuda hingga kini masih lontang-lantung nganggur, mendapat partner anak Cak Manap yang masih belum dapat kerja setelah lulus sekolah jurusan kuli tahun kemarin. Jangankan mereka, wong Mas Paidi yang sudah bekerja sebagai pegawai tetap saja di-PHK.
Sementara yang sudah bekerja seperti Firman Murtado, Cak Sudar dan lainnya, begitu dapat gaji langsung didum buat nyaur utang seperti main dakon.
Amplopnya disimpan sebagai kenang-kenangan. Slipnya juga disimpan barangkali diperlukan buat melengkapi persyaratan mengambil kredit lagi.
Dan karena ini masih bulan syawal, orang duwe gawe, entah itu mantu atau nyunat, makin bikin pening kepala setiap orang. Sehari bisa lima hingga sepuluh orang kita buwuhi. Apalagi, tarif listrik mundak terus, tilangan masih musim, dan denda yang mesti dibayar naudzu billah mahalnya.
Maka, jangan tanya bagaimana sambat rakyat dengan bencana ini. Cak Wage terus perang syaraf agar Firman Murtado segera nyaur.
Firman Murtado sendiri, masih di PHP kementerian permadrasahan karena kolenan sebagai pekerja rodi belum juga dibayar.
Cak Manap kejet-kejet nemblongi kulakan warungnya yang hanya berupa catatan hutang tanpa uang cash sama sekali.
Sementara Wak Takrip, Arif, Cak Sudar dan terutama Firman Murtado, jangankan nyaur, tak menambah catatan hutang seharipun sudah untung.
“Memangnya kenapa sih, pendidikan masih saja mahal?” rutuk Cak Manap melampiaskan kekesalannya.
“Katanya dulu gratis, kok masih ada saja pungutan ini, pungutan itu?,” baru kali ini lelaki tambun itu terlihat ngersulo.
“Yang namanya sekolah ya memang harus mengeluarkan biaya, cak,” Sergah Mas Bambang, bikin perkara.
“Iya kalau nanti lulus ada hasilnya?, Wong anakku yang lulus tahun kemarin ndak bisa apa-apa selain utek-utek HP. Katanya sekolah jurusan ini-itu, tapi ndak becus disuruh menangani perkara yang seharusnya jadi keahliannya,”
“Lha kalau itu ya salah gurunya,” Ujar Mas Bambang keceplosan.
“Maksudnya?,” sergah Firman Murtado.
Sebagai pahlawan tanpa tanda terima ia tersinggung dengan ucapan Mas Bambang.
“Ya gurunya kurang maksimal dalam mendidik. Lha buktinya anak-anak sekarang setelah lulus ndak punya keahlian apa-apa,”
“Tak kandani ya, mas? Kami para pekerja rodi, terutama di sekolah-sekolah luar negeri alias swasta, bekerja seperti mesin meski selalu dibayar yen. Yen ono karene, yen ono kober, yen iling. Tidak seperti sampeyan yang ngantor berangkat sak enake dewe, jam delapan pagi sudah ngopi, selepas duhur sudah mlungker di rumah, meski sudah diberi gaji genderuwo alias gaji 13. Jangan asal lho, mas,”
“Sik talah, ini masalah biaya tahun ajaran baru kok malah ada acara saling maiduh begini, ya?,” lerai Gus Hafidz.
“Kita ini sama-sama korban, lho ya? Sama-sama puyeng. Alangkah naifnya kalau kita saling paiduh begini,” Tambahnya.
“Sekarang ini, yang bisa kita lakukan hanyalah bersabar. Setiap hal sudah membikin kita puyeng, maka jangan kita rusak suasana syahdu ini biar kita bisa intens menikmati pening kepala akibat program mundakisasi segala hal oleh pemerintah,”
Semuanya cep.
“Marilah kita belajar ndak gede sambat karena ini semua pada dasarnya adalah salah kita sendiri. Salah siapa anak-anak kita ajari necis, sehingga setiap tahun ajaran baru mereka selalu meminta seragam baru meski seragamnya masih bagus? Salah sendiri emoh sekolah di sekolah murah, takut setelah lulus ndak punya keahlian mencari beras? Salah sendiri kita tunduk dan patuh kepada anak-anak kita sendiri sehingga mereka sudah ngelunjak begitu bisa mbuwak umbel?”
“Mangkane ta, kita itu perlu banyak-banyak mendongeng sebelum anak-anak kita tidur. Kita kasih tahu kalau kita sekolah dulu jalan kaki, seragam bolong-bolong, sepatu jebol, buku asak-asak sisa kakak kelas. Kita dongengi juga kalau sekolah itu bukan untuk cari gengsi, biar tak memilih sekolah larang supaya orang tua bekerja lebih keras untuk membayar pungutan. Kita dongengi juga kalau sekolah itu bukan pesta biar mereka tidak minta sangu puluhan ribu buat biaya main game, beli pulsa, bensin dan mentraktir ghendakan,”
_______
Penulis : Abdur Rozaq (wartabromo)