Menjelang bulan becik Ramadhan, memang musim orang resik-resik. Rumah dicat, musholla dipel, dicuci karpetnya, dilap kacanya dan kuburan dibabati rumputnya. Bahkan di kota Cak Manap, ketiak dan selakangan kota di-suceni. Ditayamumkan dan dimandi junubkan.
Hampir tiap saat, pagi, siang, sore atau malam bapak-bapak petugas melakukan gerakan “nyapu latar” baik di warung-warung berlampu temaram pinggir jalan, losmen, hotel atau taman mesra yang kian menjamur di kota Cak Manap. Warung atau toko-toko yang menjual banyu londo juga begitu. Dirampasi meski ribuan botol itu hasil kulakan.
“Nyapu latar musiman begitu ndak efektif. Ibaratnya hanya mbabati suket, tapi ndak mencabut akarnya. Apalagi pelaksanaannya kadang kolo. Kadang kolo bocor, kadang kolo lali, kadang kolo dilindungi backing atau kadang kolo ribut duluan disebar luaskan wartawan” ujar Firman Murtado, si tukang paiduh.
“Memangnya siapa yang bisa menghapus maksiat dari muka bumi ini, Mas Firman? Sanggah Ustadz Karimun. “Hitam dan putih itu sudah jodoh. Kalau kita ikut campur, nanti setan ndak punya tugas” sergah Ustadz Karimun.
“Hehehe, tasawuf memang begitu, ustadz. Makanya fikih harus jalan bareng biar dunia seimbang.” Gus Hafidz ikut nimbrung. Ustadz Karimun tahu diri, menghargai sudut pandang fikih Gus Hafidz.
“Secara syariat, amar makruf nahi munkar dangan agenda “nyapu latar” sebelum Ramadhan ini fardlu kifayah. Kalau sudah diwakili pemerintah, kita ndak usah sibuk ikut-ikut dan lebih baik fokus nyambut gawe. Tapi ya itu tadi, sasarannya kurang tepat. Ibarat petan-petan hanya di mbun-mbunan. Di bagian yang lain belum dipetani.
Padahal, yang namanya bersih-bersih itu bukan hanya langganan “memandi junubkan” warung-warung berlampu remang, menyita banyu londo hasil kulakan. Kalau ingin bisa tuntas, ya pakai gerakan nasional. Pabrik banyu londo ditutup, pesantren diopeni, guru disejahterakan, HAM diatur biar guru ndak ngeri kalau mau mendidik dengan benar. Ndak khawatir dijotosi atau dipolisikan wali murid. Pengangguran dikurangi biar ndak peteng pikir lalu menjadi tengkulak narkoba, anak-anak gadis dicaweti wesi, anak-anak muda disita kontak motornya dan taman-taman yang berpotensi digunakan yang ndak-ndak, lebih baik digusur dibuat perpustakaan atau masjid.” Urai Firman Murtado.
“Ada lagi yang mestinya dirazia, eh “dimandi junubkan”, mas.” ujar Gus Hafidz
“Apa, gus?”
“Tempat-tempat angker seperti kantor-kantor instansi yang biasanya digunakan untuk rapat saat menyusun perda, kebijakan anggaran atau kebijakan publik.”
“Kok bisa?”
“Lho, terjadinya semua borok sejarah di selakangan dan ketiak-ketiak kota ini kan dari sana muasalnya? Kalau di tempat-tempat angker itu sudah steril dan semua hal yang ada di sana sudah dimandi junubkan, reget atau bisul peradaban di seantero kota lambat laun bisa selesai.”
“Dan tempat paling angker di kota kita, bukanlah Watu Adem, Gang Sono, Pesanggrahan, Pasar Baru Ngopak, Embong Miring atau Karanganyar Grati.”
“Lha terus di mana?”
“Di Raci”
“Talaga Banyu Pait yang werit itu ta?”
“Bukan, di perkantoran dekat Rumah Sakit Bangil yang baru.”
“Wkkkkkk, betul, segala macam cubo ada di sana memang.”
Penulis : Abdur Rozaq (wartabromo)