Tirakat Buang Sial Nisfu Sya’ban

6342

Biasanya, Fiman Murtado adalah pelanggan warung Cak Manap yang paling celometan.

Kalau sudah nyeruput kopi dan ngudut, tingkahnya mirip burung cendet dikasih kroto.

Ngedabrus mirip jurkam atau pengacara terdakwa korupsi di TV. Ndak peduli di rumahnya ada beras atau ndak. Ndak peduli listrik, LPG, BBM dan beras mundak bersamaan sedangkan gajinya masih tetap 3 juta pertahun meski ia mengabdi, eh membudakkan diri selama lima belas tahun.

Omongannya jos, gayanya top meski rokok njaluk. Kopi dan rokok adalah ideologi pembebasan bagi manusia ndablek itu.

Maka, jika ia nyeruput kopi lalu ngelamun di pojok warung seperti tahanan stres, berarti sudah tak main-main “mbulete susur” yang di hadapinya.

Selama ini ia tetap cengengesan meski jarang sekali membayar kopi dan rokok eceran secara cash.

Segawat apapun mertuanya maiduh dan istrinya purik, ia tetap ceria.

Lha ini ada apa? Beban apa yang sedang dipikul oleh manusia rai gedek itu?.

Gus Hafidz yang dikaruniai linuwih bisa merasakan “sakit kepala” hampir segenap umat manusia, diam-diam mendekatinya.

Menyodorkan rokok Dji Sam Soe yang selalu dibelinya untuk merangsum siapa saja yang keca-kecu kehabisan anggaran membelinya.

Dilolos sebatang, diberikan kepada Firman Murtado lalu dinyalakannya korek untuk membakar ujung rokok yang sudah meneyelip di bibir Firman Murtado.

“Ngomong, dong. Dari tadi kok diam saja. Ndak seru kalau sampeyan ndak nyopo blas,” rayu Gus Hafidz.

“Ngelu, gus. Sudah ndak kuat saya,”

“Halah, dengaren? Ngelu apa, kayak anggota dewan saja,” Gus Hafidz memcoba begurau.

“Mosok gus, usia sudah hampir kepala empat masih belum dadi wong? Rumah ngampung mertua, mangan saiki golek saiki, saya kadang pingin istirahat di Barzakh sana, kesel kepontal-pontal, hidup kok hanya ruwet golek beras?,”

Gus Hafidz kaget mendengar sambat Firman Murtado yang ndak biasa itu.

“Kok gitu sih, Mas Firman Murtado? Dengaren sampeyan ngomong begitu?,”

“Kesel, gus. Lihat orang kok gampang temen cari rejeki. Kadang makelaran ndak sembodo batine sumbut. Orang sudah punya mobil, rumah, janda simpanan, tabungan. Saya, makan saja kok susah meski sembarang kalir saya lakoni,”

“O, masalah perut ta? Ndak pantes kalau sampeyan mumet mikir masalah itu, mas. Orang seperti sampeyan terlalu naïf kalau iri sama orang-orang biasa yang ndolek rejeki dengan jurus mabuk begitu,”

“Lha saya ini siapa, gus?,”

“Saya lho iri lihat sampeyan. Saya belum berbuat apa-apa, sementara sampeyan, cintanya sama umat ndak main-main,”

“Wkkkkk. Ngenyek sampeyan, gus,”

“Saya bukan politisi, lho, Mas Firman. Buat apa nggedabrus,”

“Ndak ada cara ngerukat buang sial ta gus?”

“Buat siapa?,”

“Saya,”

images (2)

“Oo, begitu ta? Nanti mas. Tak rukat malam Nisfu Sya’ban,”

“Benar, gus?”

“Ya, insya Allah,”

“Kok malam  Nisfu Sya’ban? Apa keistimewaannya?,”

“Lho, Nabi Musa saja pingin jadi umat Kanjeng Nabi Muhammad gara-gara kita punya Nisfu Sya’ban,”

Ucapan Gus Hafidz membuat Firman Murtado sedikit sumringah.

“Malaikat Jibril pernah bilang kepada Kanjeng Nabi kalau malam Nisfu Sya’ban itu malam dibukanya tiga ratus pintu kasih sayang Gusti Allah,”

“Nama bulan Sya’ban sendiri terdiri dari huruf Syen, Ain, Ba, Alif dan Nun.
Syen mengandung Syarif atau kemulyaan dan syafaat.
Ain mengandung izzah atau kemulyaan.
Ba’ artinya birrun atau kebaikan.
Dan Nun artinya nuurun atau cahaya.
Bulan Rojab membersihkan badan, bulan Sya’ban membersihkan hati sedangkan Ramadhan membersihkan ruh,”

“Nabi pernah dawuh, siapa yang melek-melek dan tirakat pada malam Nisfu Sya’ban, tidak akan mati hatinya di saat hati kebanyakan manusia mati. Tidak ada malam yang baik setelah Lailatul Qadr selain malam Nisfu Sya’ban. Nah, mumpung dino becik, bagaimana kalau kita tirakat bareng-bareng?,” tawar Gus Hafidz.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.