Pagi-pagi, Cak Yasin sudah pakai ikat kepala dan bawa poster ke warung. Orang cekekelan melihat gayanya yang sekilas seperti pendekar. Ada yang moyoki seperti rombongan karnaval ucul dari barisan, bahkan ada yang moyoki mau main jaran kepang di mana. Mungkin karena terbawa, lagak gayanya juga mirip anggota DPR saat mahasiswa dulu. Jangankan Wak Camat, presiden pun berani dipaiduh. Pakai kaos bertuliskan entah gerombolan apa. Pakai pin bertanda sebuah gerombolan, eh organisasi, dan kata-kata di posternya begitu mengandung pitenah.
“Lho, mau kemana, cak?” sapa Cak Manap heran.
“Mau demonstrasi, maiduh menteri, presiden atau sekjen PBB sekalian.” Jawab Cak Yasin seperti sudah kena doping obat kuat semalam.
“Wuik, guawat temen!”
“Demo apa, cak?” timpal Arif.
“Demo hari buruh. Kami minta agar buruh disejahterakan”
“Ndak salah, tak cak?!” ujar Firman Murtado terheran-heran.
“Apanya yang salah, Mas Firman Murtado?” Cak Yasin balik bertanya.
“Ndak salah ta kalau mau minta kesejahteraan buruh?”
“Kok salah?” Cak Yasin makin bingung.
“Hati-hati, cak. Jangan sampai ditunggangi kepentingan. Jangan-jangan yang menyuruh sampeyan demo ada kesepakatan sama pengusaha, atau lagi pencitraan mau nyaleg.”
“Ngawur!”
“Menurut saya malah sampeyan yang ngawur.” Balas Firman Murtado, cengengesan.
“Kok bisa?”
“Wong sudah sejahtera, UMR jutaan perbulan, kerjanya ringan dan dapat THR bahkan pesangon kalau pensiun, kok masih demo? Jangan-jangan para para investor purik, makin banyak yang angkat kaki dari kota kita” ujar Firman Murtado. Cak Yasin ingin ngamuk sebenarnya. Tapi karena ingat masih konco plek dan kewarasan Firman Murtado diragukan, Cak Yasin hanya ngelus dodo.
“Begini, cak. Kami para buruh, sudah bosan dipulosoro. Kerja sift, lembur ndak ada uang lembur, mandornya cerewet, PHK semena-mena…….” Belum selesai Cak Yasin wadul, Firman langsung menjawab seraya mesam-mesem.
“Ya salah kita sendiri. Wong enak-enak jadi negara agraris dan maritim kok mau diplokoto jadi negara industri? Polusi dan limbahnya merusak di Indonesia, bahan bakunya merampok di Indonesia, buruhnya orang Indonesia yang dibayar ala kadarnya sudah girang. Meski jaminan keselamatan kerja, fasilitas hari tua, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan asuransi ndak jelas, hari raya masuk kerja, rekreasi jarang, kita mau saja asal ndak nganggur. Sedangkan yang jadi milyarder, mereka yang tanam modal di luar negeri sana. Apalagi setelah sistem outshourching ditandatangani oleh entah siapa dulu, buruh ndak onok ajine. Ya salah kita sendiri.”
“Sampeyan kok nyurak, sih?” Cak Yasin ndak omes.
“Ndak nyurak, hanya menyesali pola pikir kita dan kebijakan pemerintah yang ndak bijak itu.”
“Jadi buruh itu bukan cita-cita, Mas Firman Murtado. Kepinginnya sih jadi jeragan.”
“Lha, ini baru benar!” Firman Murtado malah girang.
“Mau jadi jeragan jiting apa? Wong modal saja ndak punya. Mangan saiki golek saiki, mau jadi jeragan?”
“Lha, pola pikir salah begini ini yang membuat kita betah jadi buruh. Jeragan itu kan ndak harus besar, Cak Yasin? Kulakan rancangan layangan, impot bekicot, ternak belut, budidaya cacing sampah, bahkan munguti botol air mineral yang kita buang ke sungai juga bisa jadi jeragan.”
“Waduh, lama Mas Firman.”
“Kalau begitu ndak usah demo, cak.”
“Ngawur, sampeyan ini.”
“Lha mau demo apa lagi wong UMR sudah tiga juta lebih masih kepingin mundak? Saya, buruh di PT. Masa Depan Suram, lima belas tahun ngramut anak –anak bangsa sampai ada yang jadi tentara, polisi, sales, pengurus partai bahkan jadi kepala desa, ndak demo, kok. Semelarat- melaratnya dulur-dulur buruh pabrik, ndak ada apa-apanya karena hanya mengatur mesin. Lha kami para Oemar Bakrie, kadang ditantang gelut siswa bahkan dijotosi wali murid, ndak demo, kok?”