“Zaman sekarang, punya anak perempuan harus menghubungi tukang las” gumam Firman Murtado.
“Lho, buat apa? Emansipasi Kartini, perempuan menjadi tukang las?” Arif heran.
“Pesan cawet besi biar anak gadis kita aman. Gemboknya pakai nomor kombinasi.”
“Wkkkk, sampeyan ini ada-ada saja.” Sahut Cak Manap.
“Terlalu sering nonton film ndak genah buatan Amerika rupanya, he he he” Mas Bambang berkomentar.
“Lha agennya kan sampeyan Mas Bambang? Tiap nyangkruk kan sibuk blutat-blutut?” semua pengunjung warung ngakak.
“Maksud saya begini, perawan sekarang sangat dermawan sama teman laki-lakinya. Wong harta satu-satunya saja, rela diberikan secara gratis hanya gara-gara kena PHP. Padahal mereka kan sudah bisa mikir kalau pacarnya yang SMP, tak mungkin berani diajak ke KUA. Wong Mas Bambang saja yang sudah jenggoten hanya berani PHP sama mbak rondo penjual rujak?”
“Pelanggaran! Ndak boleh buka kartu dong!” Mas Bambang protes.
“Wkkkk, guyon, mas.” Firman Murtado cengengesan.
“Sudah dengar kabar pemuda buang orok?” kata Firman.
“Yang mana, sekarang tiap minggu ada orang aborsi, kan?” sambut Arif.
“Ini terbaru, perempuannya masih berumur 19 tahun, pacarnya 20 tahun. Main “dokter-dokteran” sampai hamil. Karena takut orang tuanya kaget, yang perempuan membuang si jabang bayi.”
“O, yang itu?” kata Arif, hampir semua pengunjung warung tak ada yang kaget. Sudah sering.
“Gimana ya? Kita ini kok, makin lama makin mempemalukan ras sendiri? Kambing saja, baru kawin kalau sudah akil baligh dan ‘jodohkan’ sama yang punya. Lha kita, baru pacaran saja sudah berani begituan?” Gus Hafidz menerawang jauh.
“Sudah zamannya, gus. Mau bagaimana lagi?” sergah Mas Bambang.
“Lho, kok enteng benar, mas? Masa langsung pasrah begitu?” Firman Murtado protes.
“Lha mau bagaimana lagi, wong semua orang sepakat dengan kemerosotan moral? Dulu, kita apel pacar sampai jam delapan malam saja sudah digerebek hansip lalu dikawinkan. Kawin tengkep, namanya. Lha sekarang, mau bawa anak gadis orang ke hotel melati atau kebon pisang, malah assalamu alaikum ria dan cium tangan ibu-bapaknya.”
“Iya ya? Pemerintah saja diam meski stasiun televisi mencuci otak anak-anak biar terbiasa berpikir mesum lewat sinetron. Komisi penyiaran tak pernah menyensor lirik-lirik lagu band dan dangdut koplo yang kian ngeres. Situs-situs ‘obat kuat’ ndak pernah serius diberantas, sementara orang tua, makin banyak yang ndak layak mengasuh anak. Makin banyak orang tua yang mestinya dipecat karena hanya pintar memberi makan anak-anaknya.”
“Menurut saya, tingkat kesejahteraan rakyat juga berpengaruh terhadap fenomena buang orok ini” ujar Ustadz Karimun. “Karena gizi masyarakat membaik oleh trend doyan mangan, syahwat rakyat kiat menggawat, efeknya ya begini ini” sambungnya.
“Masa iya?” cibir Mas Bambang.
“Dulu saat kita hanya makan telo, anak muda lugu-lugu. Pacaran hanya lewat surat. Jangankan ketemu, melihat pagar rumahnya saja sudah girang. Jangankan longgoh jejer, sandalnya jejer saja sudah senang.”
“Kita harus bertindak, sedulur sedoyo! Kita minimalisir wabah zina, terutama di kalangan remaja. Sebab kalau masih anak-anak saja sudah berani berbuat cabul, bagaimana nanti kalau sudah jadi orang?” semprot Firman Murtado.
“Ndak mungkin, mas. Sudah terlalu kompleks penyakit ini.”
“Ya jangan pesimis dulu lah, Mas Bambang. Paling tidak kita awasi dulu anak dan keponakan masing-masing. Kita kontrol pergaulannya. Kita sekolahkan ke pesantren atau madrasah. Jangan terlalu bebas memberikan akses informasi. Kalau bisa jangan diberi gadget karena meski anak gadis kita tiduran di kamar, mereka masih bisa janjian di kebon pisang lewat berbagai aplikasi. Tiap malam chattingan melalui berbagai macam saluran informasi, lalu pamit belajar kelompok atau ikut ekstrakurikuler tapi malah main adu kelamin.”