“Banyak sekali niat baik orang tua yang kita selewengkan menjadi hal kurang genah. Misalnya, Mbah Kartini yang merintis pendidikan bagi kaum perempuan, pada ahirnya kita selewengkan menjadi pertukaran peran bahkan penjajahan antargender. Dulu Kanjeng Nabi berjuang tak kenal lelah memberantas budaya jahiliyyah menganggap anak perempuan sebagai beban bahkan aib. Setelah berhasil, kita—terutama kaum perempuan sendiri—malah mengembalikan keseleo sejarah itu dengan lebih gawat.” Firman Murtado bergumam seraya menatap rombongan ibu-ibu yang menor berdandan ala Mbah Raden Ayu Kartini heboh menuju pendopo kelurahan.
“Penjajahan gender, maksudnya?” sergah Arif.
“Selama ini yang dituduh keji, kejam, ndak pokro, ndak tanggung jawab kan selalu kita kaum Adam?”
“Lho, faktanya kan, yang melakukan pencabulan rata-rata kaum kita, mas?”
“Sekilas sepertinya iya, tapi kalau dirunut dengan sportif, penjajah sejati itu ya anak-putu Mbah Buyut Hawa.”
“Ngawur! Yang merkosa, melakukan human trafficking dan “tanam benih” sembarangan kaum kita, Mas Firman Murtado.” Mas Bambang, ketua Ikatan Suami Takut Istri, langsung muntap tanpa foreplay.
“Yang pakai rok mini dan pameran aurat kaum Hawa, Mas Bambang.”
“Yang rutin pijat, karaoke dan “bermalam” di puncak kaum kita lho?”
“Justru AIDS makin mewabah, pengadilan agama makin semarak dan uang negara boros karena ada yang menyediakan jasa seperti itu.”
“Sampeyan ini suami ndak genah, memang. Kok tega-teganya menyudutkan kaum Hawa yang sudah kita jajah secara kultural, ekonomi, budaya, politis bahkan spiritual.” Mas Bambang merah padam wajahnya.
“Kita sampai berani menjadi pengurus partai, menggelapkan uang negara bahkan jual beli ayat, justru karena dijajah, diteror dan diintimidasi kaum perempuan. Kita kan ndak berani pulang kalau ndak bawa “uang setoran”? Kita sebenarnya keberatan kan, ketika maksa cari “penghasilan tambahan” demi memanjakan istri di rumah?” Arif diam-diam mengangguk setuju.
“Di belakang anggota dewan atau kepala desa yang menderita “kleptomania”, hampir bisa dipastikan ada mbak purelwati, rondo bohai, tukang pijat sintal atau setidaknya istri tukang tagih uang setoran. Lha masa kita kaum laki-laki masih saja dituduh sebagai biang kerok segala tragedi percolongan di negeri ini?” jamput, aneh-aneh saja pikiran wong sempel ini.
“Saya ndak setuju!” teriak Mas Bambang.
“Ya silahkan, wong kita ini penganut demokrasi nomor satu di dunia. Wong orang loncat pagar menistakan ayat suci saja kita bela, kok.”
“Ya, tapi sampeyan itu kalau ngomong pakai pertimbangan dulu, dong. Jangan asal. Saya laporkan nanti ya?”
“Halah, mas. Gitu aja mau lapor. Masalah gawat ndak diurus, masalah remeh malah mau diributkan. Ndak wegah apa?” Firman Murtado memang ndak bisa digertak.
“Coba kita angen-angen….” Katanya kemudian.
“Kita ini, kepontal-pontal sampai endas digawe sikil, sikil digawe endas karena para Kartini kita di rumah bisa buka internet, lihat televisi atau ngerumpi saat petan-petan lalu “menjajah” kita secara ekonomis bahkan psikologis. Gara-gara bisa baca, mereka tahu kalau di internet sana ada mahluk ghaib bernama jual-beli online yang menjual tas, sepatu, parfum bahkan peniti. Saat konferensi petan-petan, mereka juga saling bertukar informasi di mana kedai badokan paling enak, dimana objek wisata paling bagus bahkan bisa tahu kapan jadwal festival klepon dibuka.
Apalagi, banyak teman-teman mereka di dunia lelembut yang suka posting foto OTW, selfie di dalam mobil, foto badokan, foto ngelencer setiap yang detik memprovokasi agar mereka mempekerja rodikan kita. Lha, kita para suami, mau tidak mau harus banting tulang cari “penghasilan tambahan” agar bisa memenuhi sebagaian besar ngidam abadi mereka itu. Kalau ndak dituruti, malam-malam bisa tidur mlungker di poskamling karena pemboikotan sepihak. Dan yang lebih berbahaya, jangan-jangan ada orang lain tanam jasa mengajak para Kartini kita “bermalam” di hotel melati atau tiba-tiba datang surat panggilan sidang dari pengadilan agama.” Arif sepakat, Mas Bambang meneng cep.
“Sekarang makin trend pemecatan suami ndak pokro, mas. Sebagian besar bukan karena suka mendem, menjual sapi mertua atau ndak pernah jum’atan. Para Kartini modern makin menghayati petuah infotainment bahwa suami yang terlalu sibuk kerja dan ndak pernah ngajak pikenik, layak dipecat. Meski kerja itu sendiri demi mencukupi biaya hobi kekinian jual beli online. Pernikahan, menurut pandangan para Kartini modern –sepertinya—mirip channel televisi : ndak suka, ganti!”
“Menurut firasat saya, sedulur-sedulur begal makin rajin merazia motor, kawan-kawan LSM makin suka menakut-nakuti orang bahkan bapak-bapak pejabat makin kreatif merancang “kebijakan”, sebagian besar alokasinya ya untuk nemblongi biaya merawat “cinta” para Kartini modern ini.” Hampir sebagian besar jamaah warung kopi diam-diam termakan provokasi Firman Murtado.
“Jadi, surat-surat Mbah Raden Ayu Kartini itu pada zaman sekarang perlu direvisi judulnya. Bukan lagi HABIS GELAP TERBITLAH TERANG, tapi lebih cocok kalau diganti HABIS GELAP MALAH BADAI. Dan para Kartini modern, jangan-jangan telah berubah kelamin peradaban menjadi KARTONO.”
Penulis : Abdur Rozaq (wartabromo)