Arif merinding membaca postingan Firman Murtado di akun sosial medianya. Jangan-jangan analisa Mas Bambang benar. Jika Firman Murtado gila, bangsa akan kehilangan sosok pahlawan yang rela dibayar 150 ribu perbulan dengan resiko dijotosi murid dan wali murid sampai rela menjadi benalu mertuanya.
Firman Murtado adalah aset bangsa. Minimal celometannya masih dibutuhkan untuk meramaikan warung Cak Manap. Kalau hanya ada Gus Hafidz dan Ustadz Karimun, pelanggan buyar karena sudah musim orang alergi agama. Meski dakwah kedua kiai kampung itu sangat membumi. Firman Murtado, jangan-jangan adalah jelmahan Kiai Semar yang dengan “kesintingannya” memperbaiki dunia. Keempat sosok Punokawan seakan bersemayan di tubuh Firman Murtado secara bergantian. Kadang ia ceriwis, sinting, teduh, heroik, nggeregetno, jenaka dan itu semua membuat orang kangen.
Pada postingan yang lain, Firman Murtado nampak berselfie di beberapa pasar tradisional. Sepertinya ia road show mulai dari pasar Ranggeh, Warung Dowo, Ngopak, Winongan hingga pasar Kalipang. Tiga kecamatan ia jelajahi hanya demi selfie di pasar tradisional entah dalam rangka apa. Padahal ia –demi Allah—tak bakat dan tak memiliki kepantasan apapun untuk nyaleg.
Jepretan foto Firman Murtado lumayan juga. Ia zoom beberapa objek di pasar tradisional seperti Mbok Penjual Rengginang, Welijo, Penjual tembakau, Penjual Lupis serta seorang pedagang bohai. Di setiap postingan foto tentang pasar tradisional itu, Firman Murtado menulis catatan:
“Beli kopi di kafe dengan harga ndak masuk akal kita ndak rewel, sementara beli es dawet kita rewelnya bukan main.”
“Ayo belanja ke pasar, berbagi rejeki dengan saudara sebangsa. Keuntungannya mereka gunakan untuk hidup sehari-hari, bukan untuk biaya perang.”
“Jangan menawar harga terlalu pelit, ayo sok dermawan seperti ketika belanja di swalayan waralaba.”
Pada postingan terbaru, Firman Murtado mengunggah foto pasar manuk Keboangung terkini. Dalam foto pixel rendah hasil jepretan HP murah itu, jika tidak teliti, yang nampak hanyalah sebuah pemakaman tua yang angker, sepi, merana, meradang dendam, penuh sumpah serapah bahkan mungkin kutukan pedagang manuk yang bangkrut. Padahal, dulunya sejengkal hutan Papua pernah digelar di sana.
Penulis : Abdur Rozaq (Wartabromo)