Ada baiknya juga MK tidak mengabulkan gugatan penghapusan UN. Sebab menghadapi orang Indonesia ini repot. Kalau UN dihapus dan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya pada sekolah, nanti makin banyak berita wali murid njotosi guru karena tidak meluluskan anaknya sekaligus dinilai ndak profesional. Atau sebaliknya, sekolah makin rajin menggunakan mantera simsalabim untuk merubah nilai ujian, merubah absensi siswa serta membikin SKHU ajaib. Kalau masih ada UN kan, kelulusan siswa bejo-bejoan.
Tergantung dari belas kasihan scanner LJK di Jakarta sana. Guru tinggal mengajak para siswa mengadakan istighotsah bersama dan rutinan balap liar, lembur di warung ber-wifi, ngeloni gadget, pacaran di semak-semak atau mbolos bisa tetap jalan.
Cak Manap sudah lama ribut sama Hendri, anaknya. Cak Manap heran karena sampai mepet UN, anaknya tetap rutin keluar malam entah “majlisan” di mana. Anak-anak sekarang kan metuwek, masih bau bawang sudah doyan ngopi sambil misuh-misuh main game online. Di pikiran Cak Manap yang kuno bin kolot, jelang ujian ahir kelulusan itu ya, mestinya belajar mati-matian. Sebab Cak Manap ndak tahu kalau perjuangan keras mencapai kelulusan, sepenuhnya sudah dipikul oleh guru.
Tapi bukan memberi jam tambahan belajar atau intens mendalami materi khusus. Guru harus lincah mencari “kunci T ” jawaban soal UN agar anak didiknya lulus 100% dan pada saat pengumuman kelulusan mereka bisa konvoi seraya corat-coret seragam. Kelulusan siswa adalah tanggung jawab sekolah dan guru, karena nama baik sekolah mempengaruhi jumlah pendaftar saat ajaran baru. Jadi, menjelang dan saat UN, guru bekerja ekstra keras sementara siswa tetap bisa rutin balap liar, majlisan wi-fi, kenduren pil untuk kucing, kencan di kebun pisang atau misuh-misuh main game.
“Ndak usah khawatir, cak. Pasti lulus, kok” tegur Firman Murtado.
“Mau lulus bagaimana wong ndak pernah pegang buku?” semprot Cak Manap.
“Sudah, terima beres saja. Wong cuma ujian pre memori, kok. Ndak serius. Mau dihapus ya eman proyek cetak soalnya” sambung Firman Murtado.
“Masa begitu?”
“Iya. Sudah lama begitu.”
“Lha kalau begitu apa ndak lebih baik dihapus saja, ndak pakai UN?” timpal Gus Hafidz.
“Ya terlalu mencolok, gus. Kalau masih ada teaterikal UN kan terlihat agak alami? Makanya jangan heran kalau setelah lulus anak-anak hanya punya keahlian nggregetno ati.”
“Katanya sudah gonta-ganti kurikulum, menghabiskan triliyunan rupiah juga, kenapa kok masih begitu?” heran Gus Hafidz.
“Ya karena semuanya pihak kompak, belum mau dunia pendidikan kita lebih maju. Para guru pusing karena budrek mikir segala hal. Yang swasta malah budrek mikir profesi sampingan agar tetap bisa nempur beras. Yang militan mau mendidik dengan serius, takut dipolisikan wali murid kalau menjewer siswa. Yang idealis kepingin menggunakan berbagai metode pembelajaran modern, siswanya kurang nyambung. Entah karena pelajar di Indonesia ini kurang gizi, atau memang syaraf otak pelajar kita putus oleh pil kucing? Zaman sekarang, pintar itu aib, gus. Bisa dianggap sebagai siswa sok suci atau sok tahu. Siswa kutu buku bisa menjadi bahan gunjingan karena dicurigai bukan orang Indonesia asli. Siswa yang ndak pernah balapan, over dosis atau aborsi, dicurigai ndak nasionalis.” Firman Murtado tahu banyak karena ia memang bekerja di PT. Masa Depan Suram.
“Kalau gurunya sejahtera mungkin bisa lebih baik, mas?” tanya Gus Hafidz.
“Belum tentu, gus. Yang sudah punya NIP saja masih sering meninggalkan kelas. Para siswa diberi tugas karena sang guru sedang meeting di kantin. Rapat membahas masa depan para janda atau ngerasani kepala sekolah.”