Sang Jeragan Layangan Langit

1344

Bukan main gembiranya Firman Murtado melihat Saepul, teman lamanya. Berkali-kali ia berharap bukan mimpi, karena dengaren hidup menghadiahkan hal terlalu manis buatnya. Dipeluknya pria tak ganteng itu. Andai tak khawatir disangka macam-macam, ingin ia ciumi lelaki tambun dan pincang tersebut. Tak peduli baunya kecut, kaos bergambar calegnya sudah lebus dan  wajahnya bleketek oleh debu dan keringat. Kegembiraan yang membuncah di hati kecut.

FirmanMurtado, berubah menjadi euphoria seperti tim sukses kepala desa ketika jagonya menang. Tak terpikir sang tim sukses kelak akan ditendang. Firman Murtado dan Saepul adalah konco plek, sama-sama orang kalah, sama-sama korban berbagai ketimpangan terencana dan sama-sama belum dadi wong. Bedanya, Saepul menertawai hidup, Firman Murtado gulung-gulung menyesalinya.

“Assalamu alaikum!” teriak Firman Murtado menyambut Saepul yang pendek akibat kesalahan menteri kesehatan yang tak memperbaiki gizi orang republik Indonesia. Tak pernah Firman Murtado segati itu menyambut kedatangan orang. Caleg blusukan, calon bupati sok akrab keluyuran mencari calon pemilih, apalagi tim sukses partai, tak pernah direken oleh Firman Murtado. Apalagi –dulu pernah ada—artis sinetron yang ujug-ujug jumpa fans di kotanya, si artislah yang ia haruskan meminta foto bersama dan tanda tangan darinya. Firman Murtado ndak omes atau ndak suka dengan tokoh yang tak pernah berbuat apa-apa terhadap kemanusiaan, tak becus berkarya, atau berkarya tapi karyanya merusak moral seperti para artis Indonesia.

IMG-20170329-WA0087
Lama tak terdengar kabarnya, Saepul kini seperti jagah duduk. Tambun tak alang-kepalang. Perutnya buncit seakan pernah makan uang pungli. Motornya baru, dikasih geronjong berisi, –sepertinya—rancangan layangan dari bambu.
“Apa ini?” tanya Firman Murtado semangat.
“Rancangan layang-layang dari bambu” ujar Saepul, lalu cengengesan.
“Kok banyak?” Firman ngurus.
“Ya, habis kulakan. Ambil dari para perajin di Sekarputih, Gondang Wetan dan Rejoso” sekali lagi Saepul cengengesan.
“Jadi jeragan, sampeyan?”
“He he, kecil-kecilan.”
“Asem. Jangan ikut-ikut kaya seperti konco lainnya, lho. Nanti hanya tinggal aku yang ndak kaya. Kalau sampeyan kaya, aku sungkan jadi konco plek sampeyan” ujar Firman Murtado.
“Sampeyan ini seperti pengurus partai saja, ndak suka kalau orang lain maju.” Keduanya ngakak.
“Masalahnya aku sudah kena bastu, kena kutuk ndak akan kaya hingga pensiun karena terlanjur salah pilih profesi.” Kelakar Firman Murtado.
“Lho, masih mencerdaskan bangsa?”

“Ya, masih di PT Masa Depan Suram, sebagai pekerja rodi, biar bos besar tambah makmur dari dana program pencerdasan bangsa.”

“Ah, hidup itu sawang-sinawang, cak. Sampeyan lihat aku enak, aku malah iri lihat sampeyan. Sampeyan harusnya sujud syukur karena sampeyan jangkep. Lha aku?….”ujar Saepul seraya menatap kakinya yang sudah diamputasi. Saepul adalah korban kebohongan iklan di televisi yang mengatakan mie instant itu lezat dan bergizi. Saepul lalu kecanduan sebuah merek mie instan yang pemiliknya mencari makan sekaligus membinasakan rakyat Indonesia. Entah orang mana, bikin pabrik di Indonesia, mengeruk bahan baku di Indonesia, kuli, pembeli dan yang dibinasakan juga orang Indonesia. Di negaranya sana ia ongkang-ongkang kaki seraya dipijiti perempuan sewaan, menerima dolar dari hasil memproduksi mie instant beracun itu. Saepul adalah satu dari jutaan rakyat Indonesia yang dibinasakan oleh produk-produk beracun lainnya. Tulang kakinya kena kanker, terpaksa harus diamputasi.

“Wes Alhamdulillah, cak. Bisa buat ngopi, beli rokok dan nyelengi sedikit-sedikit. Barangkali ada yang sudi kuajak nikah.” Saepul juga korban kapitalisme yang tiap saat menayangkan iklan di televisi. Meski jumlah prawan kasep dan rondo kian hari makin menggiriskan, jarang sekali yang bersedia diajak menikah oleh orang-orang belum kaya seperti Saepul.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.