“Sudah. Meski resepsionis mrengut-mrengut dan menjawab pertanyaan saya sambil utek-utek HP, saya masih sopan karena takut mereka akan mempersulit saya.”
“Besok sampeyan ke sana lagi, kalau masih mbulet, gebrak mejanya.”
“Kalau marah atau saya –makin—dipersulit, gimana?”
“Ingatkan kalau mereka itu kuli, sampeyan jeragannya. Ingatkan kalau mereka digaji dari pajak yang kita bayar. Kalau ngeyel, bilang kalau gaji buta itu ndak barokah.”
“Ndak berani, cak.”
“Kenapa ndak berani?” bentak Firman Murtado.
“Saya masih banyak keperluan sama mereka. Jeragan saya sudah kapok ngurus SIUP sendiri. Makanya saya yang disuruh. Kalau mereka dendam dan –lebih—mempersulit saya, saya yang dipaiduh jeragan. Sebab CV kami sudah di-warning agar segera bikin SIUP.”
“Lho, sudah lama berdiri kok baru bikin SIUP, sih?” timpal Gus Hafidz.
“Sudah setahun lalu ngurus SIUP, gus. Tapi ya itu tadi mbulet. Sampai jeragan saya aras-arasen dan menyuruh saya yang mengurusnya.”
“Pemerintah kita ini repot ya? Ada rakyat mau mendirikan usaha dipersulit sama urusan dokumen. Harus mengurus ini-itu, tapi layanannya mbulet. Kalau di kota lain ada slogan pelayanan satu meja, di kota kita malah pelayanan 756 meja.” Gumam Gus Hafidz.
“Harusnya kan, pemerintah gembira kalau ada rakyat mau bikin usaha karena secara mandiri ikut membangun perekonomian mikro. Ndak usah repot-repot kasih utangan dana, permudah saja kan sudah enak?” tambah Gus Hafidz.
“Di negara kita ini, orang mau jualan rukem saja harus punya izin. Mau buka warung rujak harus bikin IMB, SIUP serta entah apa lagi. Lha kalau begini terus, bagaimana perekonomian rakyat mau maju? Kalau sama investor asing yang kapitalis, gatinya bukan main. Tapi giliran ada rakyat kecil mau jual sandal saja, harus punya izin macam-macam. Seakan persyaratan bikin usaha lebih sulit dari persyaratan masuk sorga.”
“Kita madul wartawan saja, cak Sarep.” Ujar Firman Murtado.
“Jangan, mas. Nanti makin dipersulit” ujar Sarep, gemetar.
“Sudah saya teleponkan kawan-kawan wartawan. Biar diliput, kalau ramai di media kan malu mereka.”
“Waduh! Jangan, mas.”
“Omongan sampeyan tadi sudah saya rekam. Saya unggah di sosial media biar netizen ngamuk.”
“Waduh, gawat.”
“Kalau sampeyan dipersulit, kawan-kawan LSM saya suruh usut. Kita bikin pitenah besar-besaran.” Sarep pucet.
“Kalau kawan-kawan LSM ndak mau karena ndak sumbut?” timpal Gus Hafidz.
“Kita sawuri lemah kuburan, biar ambeyen semua.”
Penulis : Abdur Rozaq