Malam-malam, Firman Murtado mengendap-ngendap membawa cat spray. Tolah-toleh tak ada orang, papan reklame himbauan bertuliskan “Jangan memberi uang kepada pengamen dan pengelap kaca” dekat lampu merah, disemprot pakai cat spray. Setelah itu ia menulisinya “Lebih baik mengasuh anak jalanan daripada memelihara perkutut atau kucing anggora.”
Di perempatan yang lain, reklame yang sama juga disemprotnya. Lalu ia menulis “Zakat, bro. Biar anak jalanan ndak ngamen.” Dicarinya lagi reklame serupa lalu juga disemprotnya. Ia tulis kalimat begini : “Anak jalanan tanggung jawab kita semua. Puluhan reklame himbauan tidak memberi uang kepada anak jalanan di beberapa perempatan, tak luput dari ulah iseng Firman Murtado. Beberapa kalimat ia tulis pada reklame-reklame itu. Misalnya;
“Stop pendidikan mahal, gratiskan sekolah bagi anak jalanan.”,
“Pak pengurus partai, mumpung belum pemilu, tolong urus anak jalanan.”,
“Haji berkali-kali itu sunnah. Zakat itu wajib.”,
“Medit pangkal kebegal”,
“Ayo ikut KB, kurangi anak jalanan.”,
“Stop broken home, save anak jalanan.”,
“Baca bismillah jika mau sunnah Rasul, anak soleh makin langka.”,
“Stop konser reggae, anak jalanan dengarkan albanjari.”
“LSM, asuh anak jalanan, yuk!”
Paginya, kota gempar. Koran, televisi, media online hingga sosial media ribut. Di dunia maya orang bertengkar pro kontra. Saling hujat khas Indonesia tak terelakkan. Karena jumlah pengangguran atau pegawai pencuri jam kerja memang membludak, ulah Firman Murtado menjadi viral. Indonesia banget, hal sepele begitu menjadi topik nasional, menenggelamkan berita korupsi.
Walikota marah. Intel dikerahkan dan tak seberapa lama, Firman Murtado ditangkap. Lalu “diperiksa” eh, diinterogasi.
“Kenapa anda merusak fasilitas negara?” kata introgator itu.
“Saya ndak merusak fasilitas negara, pak.” Jawab Firman Murtado, meski agak gemetar.
“Ngawur.”
“Apa papan reklame saya turunkan?” ujar Firman Murtado balik bertanya.
“Tidak.”
“Apa tiangnya saya robohkan?”
“Tidak.”
“Tapi anda mencoretnya dengan cat spray.” Ujar introgator lainnya.
“Coretan saya bagus apa sembarangan?” balik Firman.
“Bagus, tapi anda merusak tulisan aslinya.”
“Justru saya yang memperbaiki isi tulisan itu, pak.”
“Ngawur.”
“Kok saya dibilang ngawur? Yang ngawur saya atau siapa? Dulunya kan berisi tulisan agar tak memberi uang kepada pengamen dan pengelap kaca di perempatan?”
“Ya.”
“Memangnya apa hak kita melarang orang bersedekah? Apa kita sudah bertanggung jawab mengasuh anak-anak jalanan?” malah Firman Murtado yang ngotot.
“Tapi memberi uang kepada mereka membuat macet.”
“Yang membuat macet itu karena setiap orang pakai kendaraan pribadi, pak.” Kedua intogator itu clingak-clinguk.
“Maaf, pak. Apa ada yang salah dengan kalimat-kalimat yang saya tulis di reklame-reklame itu?”
“Ndak.”
“Santun mana dengan kalimat larangan memberi uang kepada anak jalanan?”
“Lebih santun kalimat anda.”
“Jadi kalau begitu, apa salah saya?”
“Ya itu tadi, merusak fasilitas negara.”
“Apanya yang rusak, pak. Wong masih berdiri begitu?”
“Anda mencoret reklame.”
“Bukan mencoret, pak. Mengecat ulang dan memperbaiki kalimatnya.” Kata Firman Murtado ngeyel.
“Anda ini ngeyel.”
“Ngeyel dilindungi undang-undang kebebasan ngeyel, pak.”
“Tak tempeleng, ya?”
“Jangan pak, anda melanggar HAM, nanti.”
Ahirnya Firman Murtado dibebaskan. Bukan karena alibinya benar, tapi karena dokter jiwa menyatakan kalau Firman Murtado tidak waras. Orang sempel tidak bisa dijerat dengan hukum.
Penulis ; Abdur Rozaq