Penculikan Sukarela

1351

“Kapan gus, dimana?”

“Ya hampir tiap hari, di kampung kita ini.” Para warga tolah-toleh mendengar jawaban Gus Hafidz di layar HP.

“Ah, Cak Manap yang tiap hari stand by di warung tak pernah dengar ada penculikan, kok?” kilah Mas Fendi bank riba.

“Yang memang, wong penculikannya suka rela. Bahkan kadang penculiknya pamit, bawa bakso, pangsit, mie ayam atau duren.”

“Maksudnya?” Mas Bambang geram.

“Itu, anak-anak gadis kita dibawa kapan saja, tak siang tak malam sama pacarnya, apa bukan penculikan? Pulang larut malam ya kita ndak ribut. Tak pernah memeriksa ada berapa sidik jari di pakaian dalamnya.”

“Itu sih…..sudah biasa, gus. Sudah zamannya.” Sahut Mas Fendi.

“Tapi kalau ayam atau kambing kita jam lima sore tak pulang, kita kok ribut, ya?” para warga mbrabak abang mendengar jawaban Gus Hafidz.

“Jiwa anak-anak kita diculik pengedar narkoba, dibius gadget, digendam televisi, dibawa lari dunia maya bahkan dibantai balap liar kita kok diam, ya?” ujar Gus Hafidz memberondong.

“Watak manusia anak-anak kita diculik zaman, kesantunan anak-anak dicuri budaya egoisme, ahlak anak-anak disandera modernisasi yang naudzu billah salah kaprah, apa bukan penculikan namanya?”

“Kadang kita bangga lho kalau anak gadis –ingusan—kita gonta-ganti yang mengencaninya. Tiap minggu ganti yang membawanya entah kemana, pulang malam, tapi tak pernah ada yang ribut untuk visum. Tak ada yang lapor polisi, bahkan bisa menjadi prestise tersendiri kalau mereka laris. Tiap malam Minggu teman laki-lakinya datang, pamit, lalu membawa anak gadis kita entah kemana. Apa itu bukan penculikan? Anak-anak kita, sejak di kandungan sudah kita eman-eman. Istri ngidam dituruti, lahir kita rawat, kita masukkan Play Group, TK, SD, TPQ. Saat SMP malah kita perbolehkan para penjahat kelamin menggondolnya siang-malam, hanya karena kita disogok sebungkus bakso. Mau berangkat pakai cium tangan, ber-assalamu alaikum ria, minta didoakan selamat padahal hendak berangkat ke…..entah kemana dan mau apa.” Para warga cep! Lalu dengan muka tertunduk, satu persatu mereka bubar dari rumah Pak RT.

“Maafkan kami, ya Mas Firman?” bisik Pak RT, ketika para warga sudah benar-benar bubar. Ternyata perlu juga ada orang kurang waras seperti Firman Murtado.

Penulis : Abdur Rozaq

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.