Siang itu Firman Murtado budrek. Lebih budrek dari yang sudah ia alami selama bertahun-tahun. Masalahnya ia –yang dicurigai kurang waras oleh perangkat desa—ditugasi mengurus surat tanda kepemilikan tanah oleh mertuanya. Hampir lima bulan belum juga beres. Dipingpong seperti umumnya masyarakat ketika ada keperluan administrasi.
Sudah begitu, ia diwaduli Wak Takrip yang ditolak ketika ngurus KTP. Diwaduli Sugianto yang dipersulit saat mengurus surat pindah. Diwaduli Yu Markonah yang dipungli dan dipulosoro saat mengurus akta lahir anaknya. Lengkap sudah alasan Firman Murtado untuk ngamuk kepada siapa saja yang sedang berada di kantor desa.
“Gimana, pak, kapan surat tanda kepemilikan tanah mertua saya jadi?” katanya tanpa basa-basi kepada Wak Carik.
“Lho, ya tidak bisa grusa-grusu begitu, mas. Harus ada prosesnya. Verifikasi data kan bukan hanya punya mertua sampeyan…” belum selesai Wak Carik memberi penjelasan, Firman Murtado langsung memotong “Mau cepat selesai bagaimana wong kerjanya kluyuran terus, pak? Jam delapan baru datang.
Jam sembilan sudah nyangkruk di warung kopi atau swalayan. Ada kontes burung ikut. Sabung ayam gabung, ada obral minyak goreng ikut mborong, ada festival badokan di mana saja pasti hadir. Kerja kok ya sak enak e dewe, padahal gaji dan tunjangan sudah besar. Kendaraan sudah dikasih pelat merah.”
“Lho, masa setiap kali dinas di lapangan harus lapor sama masyarakat, mas?” Wak Carik membela diri. “jenuh lho mas kerja bertahun-tahun di kantor terus” tambah Wak Carik.
“Makanya perlu kontrak yang jelas, pak. Jadi pegawai itu jangan seumur hidup. Yang sudah afkir, SDM kurang mumpuni, kurang bisa mengikuti perkembangan apalagi yang sudah jenuh, mohon tahu diri untuk diganti yang lebih muda dan cak-cek.” Wak Carik mbrabak abang mukanya.
“Begini saja, mas. Kalau sampeyan ndak kenanten, gimana kalau diurus sendiri, saya kasih tahu caranya.” Kata Wak Carik.
“O, begitu ya pak?”
“Ya, mas. Enak lebih cepat selesai.”
“Terus, tugas Wak Carik, para perangkat dan para pegawai negara itu apa, pak?” Wak Carik diam.
“Sebenarnya kami sepakat untuk sementara menunda pelayanan, mas. Sebab serba salah. Mau narik biaya bensin takut dipenjara, ndak narik apa buat biaya operasional.” Wak Carik terlihat kuyu.
“Biaya operasional apa, pak?” Firman Murtado bertanya dengan pura-pura heran.
“Lho, masa pegawai dari Badan Pengukuran Tanah Nasional ndak disangoni? Ndak dirangsum, ndak dibelikan rokok? Terus teman-teman yang ikut ukur-ukur tanah ndak dikasih uang rokok dan uang kopi?”
“O, jadi budaya sesaji itu masih ada ya pak? Padahal rata-rata mereka sudah digaji oleh negara, kendaraannya plat merah, tunjangan macam-macam, tiap tahun ngelencer disangoni, dibelikan oleh-oleh, dirangsum, pokoknya tinggal duduk dan jongkok di WC meski kerjanya santai dan sak karepe ati? Kok ndak malu ya pak, menjalankan tugas dari pekerjaan yang sudah dimakan gajinya tapi masih minta makan dan rokok sama rakyat jelata seperti kami?” wajah Wak Carik merah padam tapi tak berani nggebrak meja. Sebab Firman Murtado ini bukan orang gila biasa. Berani mbentak Firman Murtado, bisa-bisa tiap hari Wak Carik kedayohan banyak wartawan dan anggota LSM.
Karena tak jelas juntrungnya, maka Firman Murtado yang malah nggebrak meja.
“Awas lho pak, kalau sampai gerakan ngambul nasional ini berlanjut, kalau sampai bapak-bapak terus ngambul dak mau melayani kami karena tak bisa pungli, …..”
“Mau apa?” ujar Wak Carik balik menantang.
“Kami bacakan Yasin Fadilah, biar kena stroke semua.”
Penulis : Abdur Rozaq