Minggu pagi Firman Murtado ngopi sama Arif. Ada rame-rame ternyata entah siapa mengadakan lomba kicau burung dalam rangka entah apa. Rame. Para penggemar burung mulai Banyuwangi sampai Bogor kumpul jadi satu. Dari kendaraan, gadget, rokok, sangkar dan burungnya, kebanyakan orang-orang berpunya, atau setidaknya nduwek-nduwekno demi hobi mahal mempunahkan, eh memelihara burung.
Hobi, memang seringkali membuat orang rela diperbudak olehnya. Penghobi merpati akan lebih praten terhadap merpati daripada terhadap anaknya. Hobi mancing bisa membuat seseorang rajin membolos kerja demi tenguk-tenguk di tambak menunggu ikan tertipu rayuan gombal ala rentenir. Memberinya hanya sepotong cacing, tapi mintanya sekujur tubuh ikan untuk digoreng. Hobi arisan mistis atawa togel membuat seseorang akrab sama Gondoruwo atau orang gila untuk dimintai wangsit. Apalagi hobi koleksi janda, bisa membuat bubar rumah tangga.
Dasar Firman Murtado sudah ditugas jadi tukang paiduh, lomba positif begini masih dipaduhnya juga. Untung ia tidak hidup di Eropa di mana orang suka mengadakan lomba aneh-aneh alias gendeng. Kalau di Eropa sana, pasti Firman Murtado jadi tukang paiduh terkenal karena selalu ribut dengan lomba –lomba sempel seperti lomba kentut ternyaring, lomba berceloteh di sosmed, lomba merusak rumah tangga orang sampai kontes bapakne tole terbesar dan terpanjang.
“Ini DPR kok diam saja ya ada lomba beginian?” katanya, membuat Arif tersedak kopi.
“Lho, kok nyandak –nyangking DPR segala, mas?” kata Arif.
“Ya jelas ta, Rif. Ini lomba kan takkan digelar kalau DPR tidak setuju?”
“Masa DPR disuruh rapat mbahas masalah-masalah remeh begini, mas?” Arif geleng-geleng.
“Lha kamu kira ndak ta?”
“Sik, talah. Ini kok sampeyan maiduh, memangnya salah ada lomba kicau burung begini?”
“Kontesnya ndak salah. Tapi asal muasal burungnya itu yang –kalau dirunut—bermasalah.”
“Ya mereka pasti beli to, mas? Atau hasil penangkaran?”
“Kamu jomblo, kan?” Firman malah tanya begitu kepada Arif.
“Jangan ngenyek, mas. memangnya kenapa kalau saya jomblo?” jawab Arif, tersinggung.
“Enak jadi jomblo?”
“Ya ndak enak, mas.” Arif mrengut.
“Kamu kira burung ndak punya hasrat begitu? Ndak punya libido dan keinginan membina rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah?”Arif tak jadi marah.
“Mas, mas. Mana ada burung membina rumah tangga segala?”
“Lho, kita dan mereka itu sama lho, Rif. Sama-sama vertebrate, sama-sama berkembang biak, sama-sama butuh Viagra. Kamu kan tahu Love Bird pakai acara tukar PIN BB dan kencan segala sebelum ijab kabul?” Arif ngakak.
“Lha setelah sepasang Love Bird bahagia dan punya momongan, anaknya kita jual, babonnya dijual atau mati. Ada juga jenis burung lain yan setelah beranak pinak berumah tangga malah dipaksa selingkuh dengan penjantan lain demi persilangan anakan. Kita ini kok ya ndak berprikehewanan?”
“Masa burung bisa galau karena pegatan, mas?” Arif cekakak an.
“Jangankan pegatan, wong dipindah kurungan saja bisa stres? Habis bersalin saja bisa ngurak?”
“Lha memang burung kan diciptakan buat hiburan manusia?” kilah Arif.
“Kalau pingin dengar kicua burung kan bisa dengar MP3-nya di HP? Pingin lihat burung ya lihat fotonya. Mau apalagi?” Arif garuk-garuk kepala. Seperti biasa, “tanggal muda” begini Firman Murtado memang sering kumat karena tekanan batin selepas menerima “gaji”.
“Menurut sampeyan bagaimana cara bijak memelihara burung?”
“Dipelihara di alam. Bukan di kurungan. Kalau burung tidak dijebak, dikerangkeng, ditangkar apalagi ditembak, tiap hari mereka bisa berkicau-kicau di barongan atau menclok di pohon kersen depan rumah. Enak, tak usah beli pur, kurungan atau memandikannya tapi rutin mendengar kicau mereka.”