Beberapa bulan terahir ini Malaikat Maut sering sekali berdinas di kota Firman Murtado. Tiap hari ada saja orang yang dijemput Gusti Allah. Salah satu “jalaran” yang paling rutin membuat orang meninggal adalah kecelakaan lalu lintas. Entah karena jalanan berlubang atau hobi ugal-ugalan masyarakat. Termasuk tragedi becak maut itu.
Nah, enak-enak nyeruput kopi seraya membaca berita laka lantas di koran online, syhadu ritual suci nyeruput kopi Firman Murtado di warung Cak Manap, terhenti oleh bunyi rem mendadak sepeda motor seorang anak muda. Semua orang terpancing perhatiannya ketika sang pemuda buru-buru melompat, mencopot kaos dan membungkus mayat kucing naas itu.
“Nuwun sewu, kucinge sinten niki?” tanya anak muda itu kepada semua orang.
“Kucing alasan, mas. Tidak ada yang punya.” Jawab Cak Manap gati. Beberapa waktu terahir memang makin banyak kucing imigran gelap begitu. Malam-malam orang membawa karung, berhenti dan membuang sesuatu, hampir bisa dipastikan kalau tidak kucing ya popok bayi yang hendak dilempar ke sungai. Maka kucing-kucing ilegal begitu makin banyak.
Tak punya visa, kartu keluarga dan tak pernah didata oleh dinas sosial. Dan kebanyakan, hasil hubungan gelap. Babon kucing tak pernah mengambil pelajaran dari pengalaman bahwa kucing-kucing jantan selalu mengobral cinta dengan murah. Bermanis-manis lalu pergi setelah menzinahi. Dan yang selalu ketiban sampur adalah sang babon. Banting tulang menjadi single parent seraya menahan luka hati karena sang jantan segera mencari betina lain untuk digagahi.
Untung mereka tak mengenal teknologi aborsi atau punya akal bulus membuang oroknya di dalam kardus. Masih memiliki sisi yang bahkan lebih humanis dari Anak Adam, tidak menelantarkan anak haramnya.
“Nuwun sewu, boleh pinjam cangkul, pak?” kata pemuda itu kepada Cak Manap. Cak Manap dengan sigap memberikan cangkul yang kebetulan baru ia gunakan untuk ngebruk lubang aspal agar daftar orang kecelakaan tak bertambah. Meski nampak lelah karena sepertinya sepulang kerja, sang pemuda segera menggali liang lahat dekat sungai untuk mengubur mayat kucing belang telon itu. Dikafani dengan kaos bermerek yang ia kenakan tadi. Dikubur dengan hidmat lalu ia memberikan sedekah tolak balak kepada Cak Manap. Semuanya terjadi begitu cepat. Setelah rampung dan menalkini “ahli kubur”, si pemuda berassalamu alaikum ria, pamit.
“Zaman sudah kuwalik” seloroh Gus Hafidz, entah apa maksudnya.
“Maksudnya, gus?” Mas Bambang nyauti.
“Sampeyan lihat tadi, mas itu gemetar tak alang kepalang? Untuk menebus dosanya dan sebagai rasa tanggung jawab, ia kuburkan sendiri kucing itu.”
“Lha lumrahnya kan begitu, gus?”
“Ya juga sih, tapi coba kalau yang ditabrak Anak Adam, pastinya tidak begitu reaksinya. Kalau ada kesempatan melarikan diri ya ngenclong, tabrak lari. Kalau tak ada kesempatan, ya engkel-engkelan menyalahkan korban. Selama ini yang kita lihat, apa pernah ada orang tabrakan tanpa diikuti adegan saling menyalahkan? Saling mengklaim berada di jalur yang benar?”
“Benar juga ya?” Firman Murtado garuk-garuk kepala.
“Tadi itu, seandainya yang ditabrak Wak Takrip atau Cak Takim. Negoisasinya pasti belum selesai. Si pemuda akan ngotot kalau ia tidak makan portal, tidak melanggar kecepatan maksimum, menunjukkan SIM dan STNK bahkan mengeluh kalau stiker parkir berlangganannya hanya pungli. Si korban pun tak kalah ngotot. Pasti akan membela diri kalau ia sudah menyeberang di jalan yang benar, sudah kasih aba-aba dan kalau penabrak ngotot, ia akan melakukan visum. Meski hanya kedelinges, ada kemungkinan ia kongkalikong dengan petugas laboratorium agar mendapat ganti rugi yang besar.”