Tak lama setelah Kanjeng Nabi mangkat, panjenenganipun Ibnu Bathutah –seorang backpacker Muslim—sudah mencatat keberadaan komunitas Muslim-Cina di pesisir Sumatera. Jika orang belum kenal Ibnu Bathutah dan menganggap kurang valid kalau bukan tokoh barat sumbernya, Marco dan Polo juga mencatat hal serupa sepulang dari Cina. Bahkan lebih detail di Gresik sudah banyak pecinan Muslim.
Beberapa dasawarsa kemudian, sebelum dakwah para Wali Songo booming, Kiai Haji Cheng Ho sudah wira-wiri di Jawa Dwipa. Ngopi dan bertukar cerutu dengan prabu Brawijaya V, raja terahir Majapahit. Misinya, selain silaturrahmi, dagang juga dakwah. Salah seorang awak kapalnya yang bernama Pai Li Bang bahkan sempat meguru sama Kanjeng Sunan Ampel dan akhirnya menetap di Palembang.
Belakangan kita tahu bahwa selain Mei Shin, Tabib Wong dan Lou Shi Shan dimakamkan di tepi kali Winongan, para leluhur Wali Songo, Gus Dur serta wali-wali terkenal Nusantara banyak yang blasteran Jawa-Arab-Cina.
Apa artinya?
“Kita ini sedulur raket sama Tiongkok. Ras kita sama-sama Mongoloid. Soal kulit klawu dan hidung pesek, itu dosa iklim tropis dan bentang alam.” Kata Gus Hafidz.
“Klenteng Sam Pho Kong di Semarang mencatat banyak kisah romantis antara leluhur kita dengan bangsa adiluhung itu. Hanya saja mereka tidak pernah ngaku-ngaku sebagai saudara tua seperti Jepang ketika hendak nyopet dulu.”
“Makam Kiai Iman Sujono di gunung Kawi, terkenal sebagai tempat mencari pesugihan karena seorang murid Cina beliau mendapat berkah setelah ngramut dan tawassul di makam beliau. Bisnisnya meningkat, dan penggemar klenik berpikir yang bukan-bukan hingga sekarang.”
“Jadi hadits Nabi tentang Tiongkok itu, pas dengan kita ya gus?” tanya Firman.
“Seakan-akan spesifik buat kita, mas. Apalagi secara geografis, kita, Muslim Asia inilah yang paling dekat dengan Tiongkok.”
“Kiai Haji Cheng Ho, adalah juga seorang dai yang sangat berjasa. Beliau turut mbabat alas multi level marketing hidayah di Nusantara ini karena hampir delapan abad para dai Arab “dicueki”. Semangat gold, gospel dan glory dibawa beliau dari Tiongkok seperti semangat para penjajah VOC membawa agama mereka. Bedanya mereka sekaligus menjajah, Kiai Haji Cheng Ho berdagang.”
“Makanya Mbah Derakman Wakid melegalkan perayaan Imlek, pagelaran barongsai dan perguruan-perguruan kung fu, bukan karena beliau rasis—mbah buyutnya Cina. Tapi karena beliau tahu kalau kita ini sedulur raket dengan Tiongkok. Sadar kalau mereka guru kita dalam banyak hal. Siapa yang memperkenalkan kita dengan ramuan herbal, akuntansi kuno, ilmu dagang modern hingga bikin bakpau dan mie? Ya mereka itu. Dan yang paling manfaat ilmunya mungkin orang Madura. Sebab mereka suka berdagang dan merantau seperti orang Cina.”
Penulis : Abdur Rozaq