Kepada Yth PLN

1165

Hmm, kondisi ekonomi rakyat makin gawat saja ahir-ahir ini. Petani jerit-jerit karena banjir secara istiqomah nyambangi ladang mereka. Petambak klenger sejak pabrik vetsin membuang limbah ke sungai. Bandeng dan udang banyak almarhum. Pedagang sering dipaksa libur oleh banjir bandang. Kalau bukan banjir ya pasukan penertib kota yang bikin perkara. Katanya bekerja secara halal itu bisa mengganggu ketertiban kota.

Tidak seperti korupsi yang tak menyisakan sampah apapun. Para pegawai pabrik tiap bulan ketar-ketir kena arisan PHK. Hanya orang-orang punya NIP saja yang punya jaminan stabilitas ekonomi hingga ahir hayat. Karena jangankan masuk kantor, rajin membolos saja akan tetap digaji. Jangankan sehat wal afiyat, sudah stroke dan amnesia pun masih boleh bertugas.

Bahkan setelah naik pangkat almarhum, masih diperhatikan negara. Makanya membeli mahluk bernama NIP itu sangat mahal. Bahkan ada pitenah alias desas-desus tak jelas, ia bisa ditukar dengan negoisasi di hotel melati.

Dan dari segenap rakyat Indonesia yang merana itu, insya Allah Firman Murtado yang paling lengkap deritanya. Hingga menjelang usia mapan begini, ia masih tergolong dhu’afa yang untuk makan besok, harus banting tulang malam harinya. Jika apes, eh Gusti Allah menguji kesabarannya, terpaksa ia harus mengajukan proposal utang beras kesana-kemari.

gara-gara-monyet-daerah-ini-mati-listrik-16-jam-xHM0gOylJE

Lho, bukankah Firman Murtado tergolong manusia multitalent yang bisa berprofesi apa saja? Konon selain ketiga profesi formalnya sebagai pekerja rodi—guru swasta, tukang cukur dan penulis, ia kadang menerima panggilan nyuwuk orang kesurupan, nyarang udan, jadi moderator seminar bahkan memberi ceramah segala? Namanya juga pekerja serabutan, tidak tiap hari ada orang kesurupan. Lagi pula di kota kecil Cak Manap ini, makanan bernama seminar tidak banyak yang doyan. Dulu pernah musim seminar pendidikan karena calon guru dan guru yang hendak sertifikasi butuh sertifikat buat pemberkasan. Sekarang tidak lagi.

Sejak seminggu ini Firman Murtado sering misuh-misuh sendiri. Masalah beras pemicunya. Penghasilannya dari profesinya mencerdaskan bangsa, tidak bisa dijagakno. Sudah kecil, keluarnya tak mesti. Masih menunggu BOS yang sering tersangkut entah dimana itu. Celakanya, redaktur koran tempat ia menjual tulisan, eh pitenahnya, juga merasa tulisan Firman Murtado makin ngelantur akibat gizi buruk. Dan derita makin lengkap karena hujan, banjir dan panjenenganipun PLN makin istiqomah memadamkan aliran listrik. Yang itu artinya, lapak potong rambutnya akan macet total.

Pernah Firman Murtado menelepon call center untuk menyampaikan aspirasi, mohon pemadaman aliran listrik jangan dijadikan hobi.

Tapi, sudah mbulet dan bertele-tele begitu operatornya, sampai habis pulsa Firman, jawabannya malah
“Ini faktor alam, pak.”  Kalau bicara faktor alam, artinya Gusti Allah yang bertanggungjawab. Atau paling tidak, alam yang dikambing hitamkan.

Tapi bagaimana kalau tak ada hujan dan tak ada angin listrik rutin padam, siapa lagi yang digugat? Atau, bolehlah padam jika itu benar-benar tertimpa pohon tumbang, tapi mohon jangan sehari-semalam dan jangan secara rutin.

Diupayakan seperti pelayanan perusahaan swasta, gitu. Cak-cek dan jangan semakin menegaskan kalau yang bukan swasta bekerja sak enake dewe. Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok banyak rakyat Indonesia Raya yang manja.

Ada berapa gadget yang kehabisan baterai di seluruh kota? Nanti bisa digugat para netizen yang bisa belingsatan jika satu jam saja tidak memposting omong kosong di sosmed, lho. Apalagi bagi tukang cukur seperti Firman Murtado, listrik padam artinya harus cari utangan buat beli beras.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.