Sebenarnya banyak ilmu yang kita peroleh dari panjenenganipun ndoro meneer penjajah Belanda. Misalnya tekonologi membangun jembatan, membangun bendungan serta tekonologi tata kota. Tapi yang paling kita ugemi hingga kini, hanya pelajaran devidet impera atau teknologi adu domba.
Dalam ilmu tata kota, para insinyur utusan ratu Wilhelmina itu seperti memiliki ajian weruh sak durunge winarah. Tahu betul jika kelak, jalan raya di depan kantor P3GI, Gedung Wolu, pabrik karton dan PG Kedawoeng akan mengalami pelebaran berkala seiring dengan bertambah banyaknya rakyat yang mampu mengkredit sepeda motor. Maka, berdasarkan ilmu terawangan itu pula, mereka menyisakan puluhan meter halaman agar ketika terjadi pelebaran jalan gedung utama tidak terkena buldoser.
Sistem sanitasi juga diperhatikan betul berdasarkan ilmu terawangan tersebut. Dan yang paling penting, sebelum meletakkan batu pertama sebuah fasilitas vital kota, para insinyur itu melakukan istikharah ilmiah secara mendalam. Maka bisa kita buktikan, hingga ratusan tahun setelahnya, warisan mereka seperti PG Kedawoeng dan gedung SMK Untung Sarapati masih strategis bahkan masih berdaya guna.
Beberapa abad kemudian, kita mencoba melakukan rekonstruksi fasilitas-fasilitas umum tanpa melalui istikharah yang serius. Keputusan di mana sebuah fasilitas dibangun –menurut isu—hanya berdasarkan proyek dan tender, maka seperti yang bisa dilihat, kita bangun terminal antar kota di sebuah tempat yang sebenarnya SHM nya dimiliki oleh genderuwo. Di utaranya sedikit, juga ada sebuah gedung milik pemerintah yang hingga puluhan tahun kemudian belum difungsikan secara maksimal.
Firman Murtado, setiap kali kedatangan tamu dari luar kota kerepotan kalau memberi ancer-ancer alamat rumah (mertua) nya. Teman-temannya selalu kesasar ke Probolinggo karena tidak tahu dimana itu terminal. Banyak yang mengaku tak menemukan terminal. Jika tamunya naik bis, selalu digondol hingga Nguling oleh sang sopir. Maka dalam sebuah komplain, Nidom Fauzi, teman Firman Murtado dari Ponorogo maiduh habis-habisan.
“Mana ada terminal di kota sampeyan?”
“Ada, bro. Dari alun-alun hanya beberapa jengkal ke arah timur.”
“Saya sudah ubek-ubek, muter-muter naik becak. Kalau dikalkulasi jarak saya muter-muter, bisa digunakan sholat jamak –qoshor karena hampir setara jarak Irak-Libanon. Tapi tak ada tuh yang namanya terminal?”
“Lha sampeyan tidak tanya sama tukang becaknya?”
“Ya nuwun sewu, bro, zaman begini, orang sudah biasa memanfaatkan penderitaan orang dalam rangka mendapat keuntungan. Kalau muter-muter terus kan bisa membuat argo becaknya sebengkak kaki orang terkena beriberi? Ahirnya saya putus asa, cegat bis pinggir jalan dan balik ke Ponorogo.”
“A, mewakili pemerintah, dengan ini izinkan saya memohon maaf secara formal.” Kata Firman Murtado membuat Nidom Fauzi ngakak.
“Mohon maaf juga atas ketidaknyamanan bro saat berkunjung ke kota kami.” Nidom berguling-guling ngakak.
“Ini di luar skenario saat kami membangun terminal dulu. Bro kan tahu, ini proyek tak main-main. Sudah melibatkan ahli tata kota terbaik dari Zimbabwe. Proyek bernilai trilyunan rupiah ini juga telah melalui berbagai tahapan mulai proses pembebasan lahan yang alot, negoisasi premanisme hingga acara suwuk menyuwuk agar pemegang SHM dari bangsa lelembut legowo kami membangun terminal di sini. Menurut terawangan bapak adipati juga baik saat itu. Terminal diletakkan di sini agar pembangunan merata dan kesejahteraan juga begitu (terutama bagi yang berwenang). Tapi entah apa yang salah, orang kok ogah masuk terminal. Awal-awal beroperasi, bapak-bapak dinas perjalan rayaan bekerja sama denga bapak-bapak dinas pertilangan sampai membujuk-bujuk agar para sopir mampir di terminal. Tapi begitulah orang Indonesia, bro, kurang patuh terhadap pemerintah. Dan Alhamdulillah, terminal kami sunyi senyap. Bro bisa memandikan sapi di terminal kami dengan tenang karena takkan banyak terganggu oleh kenderaan keluar masuk. Tiap hari, hanya ada beberapa tukang becak yang lebih banyak main dominonya daripada narik penumpang. Ada juga beberapa warung. Dulu awal-awal pernah ada puluhan toko, tapi semuanya almarhum. Kalau bapak-bapak dari dinas perjalan rayaan sih selalu stand by.”