Menjelang peringatan maulid, bagi masyarakat kota Cak Manap ada dua macam hari raya kecil-kecilan. Pertama perepekan, kedua haul Mbah Hamid. Perepekan sering hanya menjadi hari raya bagi para pedagang buah, namun menjadi momok bagi para “kepala keluarga” semacam Firman Murtado. Butuh pengeluaran besar-besaran masalahnya.
Nah “hari raya” yang kedua yaitu haul Mbah Hamid, menjadi perayaan hampir bagi seluruh warga kota santri ini.
Pedagang dadakan maupun yang ajeg akan berebut berkah di seputar makam Mbah Hamid. Para santri ngalap berkah, pejabat mengenakan dress code islami, duduk khusyuk diantara para kiai dan habaib, muda-mudi mejeng cari kenalan, janda-duda cari pasangan, anak-anak punk prei konser pakai kopyah, para pengumpul sedekah merasa aneh dengan sikap orang yang tiba-tiba dermawan, yang kaya pamer mewah, yang belum kaya tak mau kalah, antara yang pusing angsuran kredit dengan yang tidak nampak sama rata, dan ratusan warung kopi berjajar sepanjang jalan Niaga hingga jalan Nusantara. Tak perlu risau dengan pasukan penertib kota karena mereka pun pakai kopyah dan sarungan. Inilah pesta tahunan yang sangat rugi jika tak ikut merayakannya.
Gus Hafidz dan para punakawan, tentu saja berada di garda depan nyangkruk di warung-warung kopi dadakan itu. Firman Murtado bahkan menganggarkan dana khusus. Beberapa minggu sebelumnya ia mengkorupsi hasil mencukur rambut dari istrinya. Sepi atau ramai orang cukur rambut, ia selalu menggelapkan uang setorang kepada sang istri.
Ngopi yang bisa berkali-kali tentu saja menghabiskan banyak anggaran. Belum lagi udud yang pasti nyepur, akan menghabiskan banyak anggaran juga. Dan biasanya, pada hari becik begini, kadang ada orang iseng jualan buku.
Kerumunan ribuan orang membuat entah siapa mencoba peruntungan menjual buku. Barangkali orang-orang sinting semacam Firman Murtado turun gunung dan kedeluduk membeli. Meski tak seramai konter gadget atau dealer motor, kadang orang belum kapok juga jual buku di kota Firman Murtado. Dan bagi Firman Mutado itu godaan maut setara godaan janda.
Ustadz Karimun juga ngaku sudah lama diam-diam nyelengi. Putra-putrinya yang prei di pesantren biasa memborong kitab-kitab di Al Huda. Dan istrinya selalu kepincut beli entah apa saja yang terlihat. Dan bagi Mas Bambang, ini adalah kesempatan untuk pindah dari satu warung ke warung lain dalam rangka meningkatkan kadar kolesterol, gula darah serta asam urat. Ratusan warung makanan mesti ia jelajahi meski harus sembunyi-sembunyi dari para jamiyah peminum kopi di warung Cak Manap.
Nyangkruk di warung kopi di tengah jalan, para anggota geng itu menikmati betul suasana menjelang haul. Arif tak henti-hentinya menelan liur melihat lalu- lalang para gadis. Apalagi pesantren sedang prei, para bidadari pingitan banyak berseliweran. Memang beda aura kecantikan antara yang diukep dengan yang diumbar sembarangan. Firman Murtado lirak-lirik memilih yang bohai-bohai semata. Padahal Gus Hafidz sudah wanta-wanti kalau acara nyangkruk ini dalam rangka ngaji.
“Mulya betul karomah Mbah Hamid.” Gumam Gus Hafidz.
“Sudah wafat pun masih menyuapi ribuan orang. Sementara kita, masih hidup tapi belum bisa berbuat apa-apa.” Tambahnya.
“Sejak kemarin, kira-kira berapa milyar perputaran uang di sini? Berapa orang yang mendapat rejeki dari acara ini?” Firman Murtado ikut nimbrung.
“Wak Takrib sampai bingung mencari kulakan kacang, cak. Kemarin siang saja, hampir satu kwintal habis.” Kata Cak Manap.
“Lha ya, wong Mbah Hamid yang sudah sedo saja masih menyuapi umat, sementara yang hidup kok malah menghalang-halangi orang nadahi rejeki, ya?” Ustadz Karimun menimpali.