“Lha mau sedekah bagaimana gus, wong yang mau kita makan saja sulit? Saya ini, untuk bisa merokok saja harus menjalani tiga profesi sekaligus—yang inna lillahi—kolenane belum seberapa pantas. Pagi saya menumbalkan diri menjadi pekerja sosial untuk—konon— mencerdaskan bangsa. Sore nyukur rambut. Malam harus begadang nyari pitenah untuk saya tulis. Itu hanya cukup untuk beli rokok dan pulsa. Istri saya titipkan mentua yang sudah bertahun-tahun menjadi semacam IMF merangkap World Bank.” Ujar Firman, curhat sekaligus mencari pembenaran untuk medit alias pelit.
“Itulah, kenapa di kota kita ini marak berbagai macam kejahatan. Termasuk begal, jambret, gendam serta entah apalagi. Penyebabnya adalah, sedekah sebagai tolak balak masih belum kita budayakan. Gusti Allah “meminta” dua koma lima persen saja untuk didum kepada saudara-saudara kita yang lebih melas hidupnya, kita enggan. Makanya Gusti Allah mengutus saudara-saudara kita para begal itu untuk menagih iuran wajib. Tapi sudah tidak mengandung pahala dan misi mensejahterakan umat.” Firman Murtado mbrabak abang wajahnya.
“Bagaimana kalau kita sedekahkan kepada anak, istri dan keluarga, gus?” Mas Bambang bertanya.
“Itu ibarat kita makan pisang, kita buang kulitnya dalam rangka menghilangkan racun, tapi kulit pisang kita buang sembarangan. Kita bisa kepreset, jatuh, keseleo bahkan bisa lumpuh. Kita ini adalah kaum penenggak racun yang doyan mengkonsumsi limbah-limbah rejeki yang harusnya kita buang. Sedekah, zakat, infak, wakaf, eman sekali kita keluarkan. Sementara mengkredit motor, kita lakukan setiap ada tipe terbaru di-launching.”
Penulis : Abdur Rozaq