Seperti biasa, sebagai orang Indonesia Raya, penanganan suatu bencana selalu terlambat di negara Firman Murtado. Hingga saat ini, bencana kemanusiaan yang kemarin menjadi viral di dunia lelembut alias dunia maya, belum juga menunjukkan gejala akan segera teratasi dengan tuntas. Semua orang sibuk mencari kambing hitam, karena itulah cara paling “bijak” untuk menyelesaikan masalah. Kata seseorang di dunia lelembut itu, untungnya saat zaman penjajahan dulu belum ada media sosial. Andai sudah ada, maka Pak Karno hanya akan saling bully dengan pasukan Belanda di sosmed, tak ada Serangan Umum, gerilya, Resolusi Jihad, tapi hanya perang gambar dan saling tembak berita hoax di sosmed atau di lorong-lorong dunia lelembut lainnya.
Bencana kemanusiaan yang terjadi di jalanan di kota Firman Murtado terus berlagsung sementara setiap orang belum menemukan gagasan yang begitu cerdas selain maiduh dan ngomel tak karuan. Belum ada yang menenukan kearifan untuk nggerayai jithoe dhewe. Maka sepertinya benar apa yang dikatakan Gus Hafidz saat jagongan di teras rumahnya bersama semua anggota Punakawan, Cak Manap, Firman Murtado, Mas Bambang dan Ustadz Karimun.
“Kalau kita sportif, kitalah yang harusnya nggerayai jhitok atas maraknya aksi “pinjam motor” saat ini.”
“Pembegalan maksud sampeyan?” sergah Cak Manap, terang-terangan.
“Ya.”
“Lho, kok kita lagi yang salah, gus?”
“Ya karena kita adalah kaum penenggak racun. Maka kita keracunan. Dan kalau tidak ada upaya untuk menetralisir racun dan tidak segera melakukan perawaatan, kita akan binasa.”
“Dalam sekali, gus. Langsungan saja, tidak usah pakai bahasa sindiran begitu” Mas Bambang belum mudeng.
“Kita kan tahu kalau dari setiap yang kita dapatkan lalu kita timbun itu ada bagian tertentu yang mesti kita buang? Wong buah mangga saja tidak semuanya bisa kita makan. Kulitnya sunnah dikonceki, bijinya wajib kita buang. Buah salak, kulitnya wajib kita buang karena kalau kita makan bisa berakibat kurang baik bagi pencernaan. Bijinya juga wajib kita buang karena tak kalah berbahaya bagi usus. Bahkan buah pisang saja, meski kulitnya lunak, “sunnah” kita buang kulitnya agar nikmat dan nyaman kita makan. Bahkan membuang kulitnya pun harus hati-hati agar tidak membuat kita terpeleset dan terjatuh.”
“Ini kok malah cerita soal buah-buahan sih, gus? Muludan kan masih lama?” Mas Bambang belum juga mudeng dengan tausiyah emperan Gus Hafidz.
“Kurang lebihnya begini, cak.” Ujar Gus Hafidz seraya ndehem terlebih dulu.
“Setiap rejeki yang kita dapat, sebenarnya mengandung bagian beracun yang mesti kita buang. Setahun sekali, dari sejumlah rejeki yang kita cari hingga sikil digawe endas dan endas digawe sikil, ada yang wajib kita keluarkan. Namanya zakat. Kenapa mesti begitu? Itu karena Gusti Allah sangat menyayangi kita. Tak rela kita menenggak racun dan binasa. Kenapa mesti beracun, wong itu hasil keringat sendiri? ya, karena kita kurang sportif mengakui bahwa ucul ke warung kopi pada jam kerja itu nggak ilok. Meliput berita seraya menakut-nakuti narasumber agar membayar upeti juga nggak ilok. Leyeh-leyeh kalau jeragan lengah dan cakang kalau jeragan ada, juga nggak ilok. Banyak hal-hal nggak ilok yang kita praktekkan saat mencari rejeki, yang itu menyebabkan rejeki kita beracun. Jangankan bikin usaha peternakan uang alias riba, kita cari rejeki dengan cara halal-tayyibah saja, sunnah membuang bagian beracun dari yang kita dapat.” Gus Hafidz menyeruput kopinya. Para Punakawan juga ikut nyeruput kopi.
“Sekarang ini rukun Islam mrotoli. Zakat dan puasa sudah –seakan—dihapus. Jangankan orang-orang awam seperti kita, wong orang “ngerti” saja sudah moh bayar zakat. Setiap peseh yang kita dapat mengandung bakteri serta virus rohani, tapi kita doyan. Makanya penyakit budaya, wabah peradaban hingga virus-virus rohani mengincar kita.”