Benar juga teori –entah siapa—yang mengatakan kalau warung kopi dan buku, adalah tolok ukur peradaban suatu masyarakat. Sebab semakin hari memang makin terasa kalau warung kopi adalah pusat wacana, eh isu di kota Firman Murtado. Sayangnya buku belum menjadi kesenangan sebagaian besar masyarakat, buktinya, setiap toko buku almarhum.
Di warung kopi, tiap detik wacana ter-update. Tinggal pandai-pandai saja menklasifikasi mana wacana, mana isu serta mana fitnah. “Tiap detik tragedi digantikan oleh tragedi lain yang lebih gawat” kata Seno Gumira Ajidarma dalam sebuah cerpennya. Dan saat ini, yang hangat di kota Firman Murtado adalah viral di dunia maya yang mengatakan bahwa kota Cak Manap adalah kota Begal. The City of Begal kata para netizen.
“Ini merugikan nama baik kita.” Kata Firman Murtado seraya meletakkan hp nya setelah berselancar di dunia maya.
“Lha memang benar begitu kok, mas.” Sergah Arif.
“Tapi kan, seharusnya kita pura-pura nggak tahu? Borok sendiri kok diumbar dan diumumkan? Ini merugikan nama baik kita sendiri, mendiskreditkan kinerja pemerintah termasuk polisi yang tiada henti melakukan tindakan preventif.”
“Hmm, kadang saya terpingkal-pingkal sendiri kalau melihat kereta kencana dengan lampu kelap-kelip di atasnya. Ini mau menjebak anggota “Begal” kok malah woro-woro. Kalau tahu ada lampu kelap-kelip begitu ya tentu saja mereka pura-pura ngopi di warung.”
“Yang bikin heran juga, kalau kita kena rampok, polisi itu kok nggak ada yang tanggap ya? Tapi coba kalau kita berhasil mengamankan para anggota begal kok tiba-tiba nongol untuk menyelamatkannya?”
“Hati-hati kalau bicara, mas. Nanti mereka murang-muring, kena bedil sampeyan.” Arif langsung mingkem.
“Sebenarnya, fitnah ini ya karena salah kita semua.” ujar Ustadz Karimun berhati-hati.
“Lho, jangan menyalahkan rakyat, ustadz. Rakyat sudah sengsara karena menjadi korban.” Arif protes.
“Lho saya serius. Ini semua, karena beberapa salah urat budaya kita.”
“Nuwun sewu, ustadz. Apa buktinya?”
“Pertama, masyarakat kita kurang suka dengan yang namanya sekolah. Kalau terpaksa sekolah pun, hanya asal datang agar bisa naik kelas. Sekolah kita lakukan hanya demi selembar kertas bernama ijazah. Makanya, setelah lulus kita belum punya keahlian apa-apa.”
“Nuwun sewu, ustadz. Saya kira analisa ustadz kurang berdasar.
“Begini, coba kita ambil sampel secara acak, kira-kira wilayah merah basis para begal itu tingkat pendidikannya sudah bagus nggak?”
“Lho, zaman sekarang, di pelosok-pelosok desa sudah berdiri sekolah negeri bahkan pesantren dan madrasah makin menjamur, ustadz. Setiap jengkal kota kita ditumbuhi madrasah, sekolah dan PAUD setelah ada dana BOS.”
“Lha ini juga salah satu penyakit. Anak-anak sekolah makin “kreatif”, demokrasi dunia pendidikan makin mapan sampai guru tak bisa berbuat apa-apa untuk mengarahkan anak-anak didik yang “di atas rata-rata” kecerdasan kriminalnya, adalah dampak negatif dari dana BOS itu.”
“Lho ustdaz ini bagaimana, sih?”
“Dana BOS itu syubhat, cak Arif. Diakumulasi dari pajak pabrik “banyu londo”, pajak “pabrik odol” serta pajak panti pijat aurat. Nah, mau berkah bagaimana wong saat dididik saja dibiayai dengan uang terkontaminasi begitu.” Arif mendelik heran mendengar omongan Ustadz Karimun.
“Kedua, kenapa kaum begal begitu kuat, padahal bisa dibilang minoritas dibanding rakyat biasa? Itu karena ukhuwah begaliyah begitu kuat. Satu orang saja anggota begal yang tergores paku, seluruh anggota akan ramai-ramai nyambangi dan membikin perhitungan. Lha kalau kita kan nggak?”
“Kalau Pemerintah kewalahan dengan para begal atau kurang ada niat untuk duduk bareng ngopi pasar Poncol sama tokoh-tokoh mafia begal dalam rangka mengadakan kesepakatan, ya kita wadul saja sama Pemerintah Pusat.”