Sudah menjadi kebiasaan, Firman Murtado dan kawan kawan untuk selalu menyimak pengajian Gus Hafidz dari warung Cak Manap. Meski hanya sejengkal dari surau, entah mengapa para penggemar kopi itu belum ada rencana untuk memilih selonjor di surau. Belum ada tanda akan royokan berada di garda depan seperti kalau ada pagelaran dangdut koplo agustusan. Padahal, Ustadz Karimun sudah berkali-kali promosi kalau duduk—meski seraya ketiduran—di majlis taklim satu jam saja, “honor ahiratnya” seperti beribadah tujuh puluh tahun. Mungkin karena “benda” yang bernama pahala itu seperti tahayyul dan tak mengandung angka-angka, maka orang percaya, namun belum begitu yakin.
Tapi bisa juga, Firman Murtado dkk adalah kaum muslimin yang tidak suka riya’ kalau beribadah. Diundang manakiban datang paling ahir dan memilih duduk di teras sohibul hajat. Diundang tahlilan duduk-duduk di poskamling, membaca Yasin –tahlil dari sana seraya mengatur lalu lintas atau menjaga motor para jamaaah yang diparkir agar aman. Tak terkecuali malam Selasa Kliwon saat Gus Hafidz mengisi pengajian rutin di surau dekat warung, mereka menyimak pengajian seraya main remi, domino, catur atau karambol di warung Cak Manap. Jika benar begitu, berarti ikhlas benar mereka, tak mau terlihat sebagai ahli kebaikan.
Tausiyah Gus Hafidz yang ulem, teduh, tidak ngompor-ngompori serta begitu lugu, mengalun santer dari corong surau.
“Poro sederek, zaman semangken, banyak sekali kearifan lokal yang kita tinggalkan. Dalam bersedekah saja kita sangat kapitalis atau pritungan. Dulu orang tua kita, kalau selametan sedikit saja sudah membikin jajan macam-macam agar bisa ater-ater sama tetangga. Cuplakan, mitoni, tingkepan atau apa saja sudah bikin jajan macam-macam dengan stok yang berlimpah. Tujuannya apa? Ya dalam rangka mengamalkan anjuran Kanjeng Nabi, bahwa kalau kita memasak kikil kambing, mesti kita perbanyak kuahnya agar bisa kita bagikan kepada tonggo teparo.”
“Lha kalau saya amati, insya Allah sejak lima tahun terahir ini yang namanya Jenang Suro dan Jenang Sapar telah punah. Jenang Abang apalagi.”
“Mungkin kita menganggap mubadzir karena jenang sudah kurang cocok dengan perut serta selera rakyat Indonesia masa kini. Jenang sudah menjadi salah satu hidangan kurang favorit, terbukti lebih sering kita berikan sama ayam daripada kita makan sendiri. Nah kalau analisa saya ini benar, kita enggan membikin jenang karena sudah bukan makanan favorit, berarti kreatifitas kita dalam hal per-jenang-an yang tumpul.”
“Poro sederek ingkang dirahmati Gusti Allah, saat ini kita sudah memasuki bulan Shofar atau bulan Sapar. Gusti Nabi pernah dawuh bahwa pada bulan ini Gusti Allah menurunkan 70 ribu balak kepada kita. Yang paling ringan tertusuk paku, sedangkan yang paling berat adalah syakaratul maut. Nah kalau saya renung-renungkan, jangan-jangan 70 ribu balak itu diturunkan semuanya di Indonesia.”
“Kenapa demikian? Sebab ahir-ahir ini ancaman demi ancaman begitu bertubi-tubi menimpa Indonesia. Setidaknya ada beberapa kepentingan, ideologi serta maksud kurang baik yang menginginkan kita buyar seperti negara-negara Islam di Timur Tengah. Dan yang menimpa Indonesia lebih berat karena kita adalah negara yang seakan terbuat dari tetesan sorga. Jadi ibarat perawan cantik, yang mau menzinahi kita itu hampir semua orang.”
“Lagi pula, kenapa kita tiba-tiba begitu bersemangat untuk gelut dengan saudara sendiri hanya karena hal-hal “sepele”, adalah pertanda kurang baik. Jika kita biarkan, bisa-bisa 70 ribu balak itu benar-benar diturunkan seluruhnya di atas Indonesia.”