Surabaya (wartabromo) – Sampah yang dianggap tidak berarti ternyata memberikan keuntungan yang besar, baik untuk energi listrik, pupuk maupun lainnya. Hal itu dibuktikan Institut Tehnologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, dengan memanfaatkan sampah menjadi energi listrik untuk penerangan lampu di jalan asrama kampus.
Berawal dari problem sampah yang berada di lingkungan kampus, yang kian hari kian menumpuk, membuat kalangan akademisi berupaya untuk mencari solusinya. Akhirnya pada 2012 ITS membuat pengolahan sampah, hingga dapat mengoperasikan listrik tenaga sampah (PLTSa).
“Itu hasil penelitian di Labarotorium Jurusan Tehnik Mesin. Sebanyak 4 m3 sampah dikelola menjadi pupuk kompos dan listrik. Listrik yang dihasilkan sebanyak 2 kilo atau 2.000 watt, yang digunakan untuk penerangan jalan asrama mahasiswa,” kata Dr Bambang Sudarmanta, Ketua Tim Projek Pengolahan Sampah ITS, beberapa waktu lalu.
Diuraikan, sampah yang ada dipilahkan antara organik dan non-organik. Sampah organik dijadikan pupuk kompos dan yang non-organik dibakar dalam incinerator yang didesign khusus untuk menghasilkan pembakaran suhu tinggi yang mencapai 600 derajat celcius.
“Dari pembakaran itu menghasilkan gas dan diubah menjadi uap untuk menggerakkan turbin yang digunakan sebagai pembangkit listrik. Dari situ disalurkan ke generator dan listrik bisa digunakan seketika atau disimpan dalam baterai,” urai Bambang, Dosen di Jurusan Tehnik Mesin ITS ini.
Pengolahan sampah yang dilakukan ITS hingga menjadi listrik ini, adalah bentuk pembakaran atau incinerator.
Dari 4 m3 sampah, waktu untuk memproses sekitar empat jam di lokasi yang berukuran 200 meter persegi. Sedangkan biaya total untuk membuat pengelolaan sampah terpadu tersebut, menghabiskan sekitar Rp 350 juta.
“Pengolahan dengan incinerator sengaja dipilih, karena tidak butuh tempat luas dan waktu yang lama hingga menimbulkan bau menyengat. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga terjangkau. Sehingga tehnologinya bisa digunakan oleh pemerintah daerah, untuk mengatasi problem sampah di tingkat pedesaan,” tutur Bambang.
Dengan biaya yang terjangkau, problem sampah di tingkat pedesaan bisa teratasi dan lingkungan tetap terjaga dan asri. Selain itu juga mendatangkan manfaat untuk penerangan lampu-lampu jalan desa serta warga masih bisa mendapatkan hasil dengan pengelolaan melalui bank sampah.
“Selain incenerator, pengelolaan juga terdapat model fermentasi (menumpuk sampah) atau gas metan serta model termokimia atau gasifikasi. Tapi keduanya butuh tempat luas dan waktu yang lama untuk prosesnya,” pungkas Bambang. (hrj/hrj)