Idealisme dan Zina Muhson Ibu Pertiwi

1040

Tanggal 6 dan 7 Agustus, IKAPMII (Ikatan Alumni PMII) Pasuruan mengadakan konfercab di Stapa Centre Bangil. Firman Murtadlo tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu untuk mengobati rindu dengan sahabat-sahabatnya pada era koboi dulu. Romantisme lah yang membuatnya –sekali lagi—berani mbolos dari tugas sebagai pencerdas bangsa. Anak-anak diberi tugas, ia meluncur ke area konfercab. Firman Murtadlo rindu dengan tangan-tangan terkepal yang dulu sering menakut-nakuti mulai camat hingga bupati dan walikota itu. Ia rindu dengan sahabat-sahabatnya yang tak siang tak malam mengadakan rapat paripurna di warung-warung kopi trotoar, dalam rangka membahas masa depan anak cucu Ibu Pertiwi.

Sudah ia bayangkan bagaimana sepak terjang para aktivis itu ketika kini telah menjadi orang dan punya posisi. Jika dulu mereka hanya bisa berteriak di megaphone, sekarang merekalah yang memegang kendali percaturan kebijakan, sutradara isu dan plot kebudayaan. Beberapa orang telah menjadi anggota dewan, beberapa gelintir sukses menjadi pengusaha, beberapa lagi menjadi penulis, pemilik yayasan sosial, pendiri LSM, pemilik lembaga survey pemilu, pemilik event organizer chaos budaya, dan sebagian besar, sudah menjadi ajudan anggota dewan, tukang bawa map dan kacamata sang pejabat. Firman Murtadlo termasuk barisan yang kurang beruntung karena hanya menjadi pekerja rodi di lembaga pendidikan, yang setiap saat bisa saja dipecat manajer perusahaan atau dipenjarakan wali murid.

Firman sedikit minder ketika pertama kali bertemu dengan sahabat-sahabatnya para pejuang demokrasi dan ideologi itu. Sebagian besar telah beranak-pinak, bermobil, berjenggot, nampak parlente dan obrolan mereka sama sekali tak nyambung dengan alam pikiran Firman Murtadlo. Kosa kata-kosa kata dalam obrolan itu adalah kosa adiluhung semacam: reses, kontrak politik, pemetaan, bargaining, proyek, tender, NGO, LSM, syafaat politis dan seabrek kata-kata langit lainnya. Firman Murtadlo sebagai cukur yang nyambi sebagai pencerdas bangsa, kurang familiar dengan kata-kata semacam itu. Memang benar ia aktivis dan pekerja sosial, tapi hanya kelas amatir, dan di kampung pula. Berkumpul dengan mereka, Firman Murtadlo merasa begitu kolot dan tertinggal dalam berbagai hal.

Alangkah hebat capaian para sahabatnya itu. Baru terasa sekarang, jika saat menjadi aktivis kampus dulu Firman terlalu lugu dan sok idealis. Diskusi dan literasi yang berbau politik dan bisnis, ia anggap najis karena menghianati ideologi pergerakannya. Ia sadari betul kekolotannya yang sok Mahatma Ghandi dan Sidharta Gautama. Bukankah Kanjeng Nabi sendiri tidak terlalu antipati terhadap politik? Firman baru menyadari ia telah salah mengaplikasikan doktrin para seniornya dulu, bahwa seorang aktivis harus antikemapanan dan suci semuci dari barang syubhat bernama politik dan deal-deal main mata lainnya. Jangan kata menjadi germo NGO untuk meniduri Ibu Pertiwi, akrab dengan pejabat saja ia tak mau. Dan kini, para sahabat—bahkan beberapa seniornya—bukan hanya akrab, bahkan telah menjadi pejabat itu sendiri.

Kolot benar mahluk bernama Firman Murtadlo ini. Doktrin-doktrin abang-abang lambe dulu, ia pegang teguh sebagai “rukun iman” tambahan. Maka, ketika para sahabatnya telah melupakan baiat di bawah Sang Saka untuk menjadi mahluk idealis, Firman tetap teguh seakan itu Baiat Aqobah yang diikrarkan para penduduk Madinah di hadapan Kanjeng Nabi. Maka, hanya Firman yang belum bermobil, parlente dan merasakan bancakan hibah dari Ibu Pertiwi. Para sahabatnya itu sudah berkali-kali mencomblangi kawin sirri beberapa NGO dengan Ibu Pertiwi, Firman Murtadlo hanya melongo dan bergumam jika itu zina muhson.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.