Kiranya sudah menjadi kutukan jika Firman Murtadlo selalu pening melihat sekelilingnya. Tak selesai ia memikirkan umat dan bangsa yang ia cintai ini, gara-gara sok Mahatma Ghandi dan sok Soekarno. Satu ketimpangan belum selesai ia pikirkan, ratusan salah urat budaya telah mengantri menghantui pikirannya. Yang terbaru, adalah latah dengan game Pokemon, yang bagi sebagian orang, dianggap lebih penting daripada sarapan ketan dan menyeruput kopi pagi di warung Cak Manap.
Firman menganggap demam game itu lebih mengkhawatirkan dari apa yang dikhawatirkan menteri pertahanan Republik Indonesia. Lebih gawat karena mengancam jatidiri dan kepribadian bangsa. Ck ck ck! Latah, adalah sindrom asli umat Indonesia Raya sejak zaman prasejarah hingga entah kapan. Apa saja yang datang dari barat, apalagi difatwakan oleh Paman Sam, adalah fardlu ain, harus diikuti sebagai semacam “ibadah”.
Ketika Mas Bambang menyangkal su’udhon Firman tentang kekhawatiran berlebihannya, ia terpancing emosi.
“Sejak lama kita menganggap apa saja yang datang dari barat sebagai jalan hidup, mas. memang hanya sebuah game, tapi ini bisa membahayakan humanisme kita sebagai sebuah bangsa.” Katanya seperti Pak Karno atau Bung Tomo.
“Lha kalau kita menutup diri, makin kolot kita.”
“Bukan harus menutup diri, tapi harus seimbang dalam menyerap budaya asing dan melestarikan budaya sendiri.”
“Lha sampeyan siapa, kok sampai mengeluarkan dekrit segala?”
“Saya tukang cukur yang sangat mencintai umat saya dan sangat bangga dengan bangsa saya.”
“Oladalah, lae, lae!”
“Coba kita hitung, apa saja yang telah difatwakan oleh game-game itu, berapa juta anak-anak yang mengenakan kacamata karena radiasi gadget? Berapa juta anak muda yang reflek misuhnya begitu mengagumkan karena terbiasa misuh ketika kalah main game? Berapa juta manusia yang menjadi asosial karena menggap dunia nyata ini hanya fatamorgana, dan dunia maya jauh lebih nyata? Berapa juta manusia yang terbawa dunia game racing, sehingga menganggap gang sebagai sirkuit virtual? Berapa puluh juta manusia yang menyia-nyiakan waktu untuk duduk berlama-lama di depan komputer bermain game? Berapa trilyun pemerintah mengeluarkan anggaran untuk membiayai tagihan listrik dan internet agar para pegawai negara bisa bermain game sepuasnya? Berapa banyak rakyat yang sakit hati saat mengurus sesuatu di kantor instansi negara dan molor karena para petugas sedang asyik bermain game?”
“Tak sejauh itu faktanya, cak. Itu hanya angan-angan sampeyan.” Mas Bambang apatis.
“Okelah, tapi tolong nanti malam sampeyan buat kopi, duduk diteras dan renungkan kekhawatiran saya itu.”
“Coba kita bandingkan game paling seru sekalipun, dengan permainan peninggalan nenek moyang kita. Kita ambil contoh jumpritan…..”
“Kenapa jumpritan?”
“Karena jumpritan adalah peninggalan para sunan Wali Songo, dan setiap hal di dalamnya, mengandung filsafat. Tiang yang dijadikan pegangan setiap pemain agar tidak dikejar oleh “sing dadi” diibaratkan agama. Sedangkan anak yang mengejar-ngejar setiap pemain diibaratkan setan, dan setiap orang akan aman jika berpegang pada tiang. Apalagi, untuk menentukan siapa yang menjadi “setan” atau “sing dadi” diundi dengan melakukan Hong Pimpa. Dalam bahasa Sangskerta, Hong Pimpa Alaium Gambren artinya adalah, dari Tuhan kembali kepada Tuhan.” Mas Bambang gemetar mendengarnya.
“Belum lagi dakon. Dakon yang biasanya dimainkan oleh bocah-bocah perempuan, oleh Mbah Sunan Giri dimaksudkan untuk mendidik mereka agar memeliki kecerdasan dan empati menejemen keuangan keluarga ketika kelak dewasa. Main dakon tak asal mengambil dan menceburkan biji sawo ke lubang dakon. Perlu perencanaan, analisa masa depan, kemungkinan jatuh bangkrut dan keberlangsungan “ekonomi” hingga masa paceklik. Seorang bocah perempuan, sudah diajari bagaimana mempertimbangkan lubang mana yang mesti diambil biji sawonya agar bisa di-dum atau dibagi kepada lubang-lubang yang dalam filsafat Mbah Sunan Giri adalah pos-pos kebutuhan rumah tangga. Salah ambil biji sawo dari suatu lubang, mengancam kehabisan “belanja” sebelum paceklik berahir. Salah perhitungan mengambil biji sawo dari suatu lubang, alamat “mati” atau kesempatan diambil lawan. Dakon juga mengajarkan agar bocah-bocah itu loman atau dermawan sejak dini. Sebab dalam permainan dakon, bukan hanya lubang miliknya yang isi dengan biji sawo. Lubang milik orang lain juga ia isi, dan permainan bukan dimaksudkan mengalahkan orang lain, namun dimaksudkan untuk mengasah kecerdasan menejemen belanja rumah tangga sendiri.”