Hari Kemenangan (Setan)

1101

Firman Murtadlo tengar-tenger di lincak bambu di samping rumah(mertua)nya. Merokok seraya memikirkan penyebab galau tahunannya, yang dapat dipastikan menjangkit parah saat lebaran begini.

Aneh, penyakit galau yang seharusnya menjangkit menjelang lebaran karena semua orang waras jasmani rohani dituntut berbagai kebutuhan, bagi Firman malah menjangkit setelah lebaran. Sudah bertahun-tahun, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti. Seperti ada yang hilang, seperti lonjakan kebebasan yang terlalu setelah sebulan dikekang oleh haus lapar serta rambu-rambu langit. Dan seperti adatnya, kebabasan yang terlalu eufhoria sering menimbulkan kegoncangan bagian entah yang mana jiwa anak Adam.

Sebulan Ramadhan, Firman bisa mengendalikan mulutnya yang mirip cerbong asap oleh rokok. Ia kendalikan sakau terhadap kopi serta magnet testosteronnya kepada sang istri. Sebulan Ramadhan lalu Firman juga sangat berhati-hati dengan lidahnya yang berkali-kali tergelincir ngerasani pemerintah, sangat berhati-hati agar bola matanya tidak terlepas dari cangkang ketika Yu Markonah yang semlohai ginuk-ginuk lewat. Menjaga telinganya dari rasan-rasan tetangga yang biasanya diprakarsai oleh Mas Bambang. Bahkan pikirannya pun, ia setting netral agar tak rusuh. Itu semua ia lakukan dengan membalik durasi hidup, malam melek, siang tidur sepanjang hari.

Namun, begitu takbir kemenangan Idul Fitri menggema, terlepaslah segala belenggu Firman. This is independence day! Bisiknya. Hari kemerdekaan, sayangnya bukan untuk Firman. Firman berpikir terlalu naïf jika Idul Fitri adalah kemenangan bagi dirinya. Kenapa? Karena yang menang justru mulut, perut, mata, pikiran serta hati rusuhnya. Sholat kembali bolong-bolong, lidah kembali fasih ngerasani pemerintah saat nyangkruk di warung. Bahkan, setelah meminta maaf kepada Cak Manap saat ngelencer ke rumah pemilik warung itu, pindah ke rumah Mas Bambang ia sudah ngerasani Cak Manap. Sakau kopi makin parah. Pikiran rusuh makin menjadi, bahkan istrinya sampai “mengungsi” beberapa hari ke rumah orang tuanya karena tiap hari “dibombardir” hingga tak sempat kering rambutnya. Tak haram memang, namun sesuatu yang berlebihan kurang baik, bukan?

Firman makin pening karena ternyata, bukan hanya dirinya yang mengalami degradasi ruh. Di poskamling anak-anak juga merayakan hari kemenangan dengan butir-butir “permen Brazil” seraya dangdutan koplo. Si Niken anak Mas Bambang, pulang-pulang dari ngelencer terlihat memar-memar di sekitar leher dan dadanya. Tidak datang bulan tapi berkali-kali keramas setiap kali pulang ngelencer dengan pacarnya. Yu Markonah sudah kembali saling plerokan dengan istri Mas Bambang. Perkaranya adalah perang dingin ukuran gelang dan kalung. Dan Yu Markonah curiga jika apa saja yang melekat pada istri Mas Bambang berasal dari gaji buta karena Mas Bambang punya NIP.

Di jalan, Firman menyaksikan karnaval. Umat Kanjeng Nabi sedang mengenakan pakaian, asesoris, kendaraan bahkan bahasa tubuh penuh semangat pamer karunia Tuhan. Melahirkan perasaan kisut bagi umat Kanjeng Nabi lain yang belum mampu bergaya hidup selebriti ria. Tak jarang, dalam karnaval ada yang hendak jotosan hanya karena salah blayer atau serempetan motor. Perut sudah kenyang, energi dan ego kembali fit, maka anak manusia yang memang dibekali alter ego, siap bersaing secara dingin, hangat bahkan panas.

Firman galau. Ia merasa hilang kendali setelah tali kekang Ramadhan memperhalus gelegak keakuan anak Adam. Makan –minum, memberi bahan bakar untuk kembali agresif dalam berbagai arti. Perut damai, pikiran nyeleneh kembali kreatif atas bimbingan baginda Iblis sang panutan.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.