Firman Murtadlo hampir misuh sepulang dari reuni dengan teman-teman Madrasah Aliyahnya dulu. Manusia tukang galau itu merasa ditertawai jin karena reuni yang seharusnya penuh keceriaan, malah membuat hatinya galau gulana. Bukan karena teman-temannya sudah menjadi orang sedang ia sendiri masih orang utan.
Sudah biasa Firman ditertawai nasib ketika berkumpul dengan teman sejawat yang sudah menjadi, bisa dan memiliki ini-itu. Firman sudah mafhum bahwa orang seperti dirinya, yang berprofesi serta sok idealis kurang doyan rejeki tak jelas sepertinya, hampir bisa dipastikan lemah secara ekonomi, sosial dan budaya. Yang lain sudah bermobil mewah, ia bermotor kreditan. Yang lain sudah beli rumah di perumahan elit, ia tinggal di graha mertua indah. Yang lain menggurita menadahi rejeki Tuhan, ia masih belum jelas penghasilannya.
Maka karena keadaannya yang seperti itu, berdampak pula pada pasangan yang Firman peroleh. Istri Firman adalah nyonya paling kurang sedap dipandang karena hanya itu kemampuannya sebagai lelaki untuk menawan hati seorang perempuan. Terbukti sudah jika tingkat kemapanan ekonomi berdampak pada masalah asmara dan jodoh. Namun itu semua sudah bisa ia maklumi.
Yang membuat hatinya keseleo adalah, reuni yang katanya temu kangen itu, yang katanya dalam rangka mempererat tali silaturrahim itu, tak lebih hanya ajang mengheningkan cipta massal. Maksudnya? Hampir semua yang rawuh sedikit bicara dan hanya sibuk dengan gadget masing-masing. Duduk mengerumumi satu meja, namun ruh entah kemana. Ada sih sebagian yang berbincang gayeng, tapi hanya membahas rencana besanan kucing anggora. Yang lain juga bercakap-cakap, namun yang dibahas malah masalah bisnis.
Firman jengah karena hari baik begini, di saat jiwa-raga ngaso dari masalah pekerjaan, kok masih saja dibahas. Apa kurang durasi memikirkan serta membicarakan pekerjaan selama setahun, sing-malam bahkan lembur-lembur segala. Ya memang demokrasi orang mau bicara apa, tapi kan lebih gayeng kalau adu gojlokan, mengenang masa lalu yang jauh manis daripada hidup saat ini. Apalagi syukur kalau membahas bagaimana cara memajukan bangsa, bagaimana cara agar wali murid tidak suka memenjarakan guru atau bagaimana cara cerdas mensiasati begal. Preeet!
Tapi ya itu tadi. Acara hanya berisi salaman-salaman, makan lalu mengheningkan cipta bersama dengan gadget masing-masing. Firman rindu dengan keakraban tanpa basa-basi seperti dulu. Yang namanya teman itu bukan hanya diakrabi kalau mau memberi undangan mantu, mau nyaleg atau ingin mengajak joint MLM. Teman itu ibarat pepatah, jauh di mata saja dekat di hati. Lha ini malah dekat di mata malah jauh di hati? Dulu hanya orang kota yang mengeluh dengan keterasingan. Kini, anak seorang welijo pun sudah merasa kegersangan sosial seperti penduduk Kanada.
Mungkin Firman tergolong manusia lebay yang hal kecil begini saja dirisaukan. Tapi bagi “pengamat sosial” sepertinya, balada “mengheningkan cipta” begini bisa berbahaya. Banyak sudah istri yang tiba-tiba menggugat cerai suaminya hanya karena terlalu sering “mengheningkan cipta” dalam rangka kontak batin dengan pria idaman lain di antah berantah sana. Suaminya sama sekali tak tahu apa yang dibualkan oleh sang PIL, tiba-tiba saja sang istri sudah meminta talak. Begitu juga banyak gadis-gadis ingusan yang kehilangan kehormatan hanya karena dibisiki entah apa melali teks penuh sihir begitu. Nah, kalau sudah begitu bagaimana?
Guru sosiologi di Madrasah Aliyah pernah bilang jika manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan tegur sapa secara verbal, dan acara “mengheningkan cipta” begini akan semakin mengantar manusia pada kegersaangan. Sudah hubungan dengan Tuhan kurang harmonis, dengan manusia macet, lantas bagaimana? Pikir Firman. Preeet!