Kian hari, makin tidak ngetrend saja kue lebaran buatan sendiri. Kalau taruhan tidak dilarang, kita taruhan lebaran kali ini akan makin jarang kita temui kue kuno bikinan sendiri seperti rengginang, opak gambir, sagon, satru apalagi keripik singkong dan jagung marning. Kita sudah tak punya waktu untuk beribet-ribet ria membikin kue sendiri. Bisa mengurangi durasi menonton sinetron.
Maka, jika lebaran bisa mendatangkan semacam kengerian bagi sebagian orang, salah satu penyebabnya adalah racun dalam toples ini. Kenapa?
Ada semacam perlombaan adu mewah suguhan kue lebaran. Setiap orang tergoda untuk salah kaprah dalam menghormati tamu dengan suguhan paling mewah sekaligus paling beracun dari berbagai segi.
Kue lebaran bikinan pabrik, sudah kita tahu mengandung banyak bahan berbahaya bagi kesehatan. Pengawet, pewarna tekstil atau pewarna cat tembok, pemanis buatan bahkan enzim babi. Begitu juga dengan minuman-minuman pabrik yang langsung mencekik tenggorokan begitu kita tenggak itu. Kue lebaran bikinan sendiri, bisa kita pilih bahan-bahannya dengan cermat agar tidak berbahaya.
Kue lebaran bikinan sendiri, jauh lebih sehat jika ditinjau dari berbagai sisi. Ia sehat dari segi finasial karena lebih irit. Sehat dari segi sosial karena kita bisa memberi kepada tetangga kanan-kiri saat membikinnya. Sehat secara syar’i karena aman dari bahan-bahan haram.
Setoples kue lebaran, kadang begitu rumit jika dirunut substansi keberadaanya. Kadangkala ia berasal dari parcel politis andai kata ia diberikan oleh seorang bawahan yang ingin dinaikkan pangkatnya. Ia juga termasuk kue politis jika diberikan oleh pengurus partai kepada konstituennya agar tahun depan mencoblosnya kembali. Juga termasuk kue politis apabila ia berasal dari pabrik perusak lingkungan kepada masyarakat sekitar yang dihancurkan ekosistemnya. Kue-kue politis semacam itu sangat beracun dari berbagai segi.
Telah umum jika saat lebaran, semua orang dengan berbagai profesi dan jabatan akan menjelma menjadi manusia biasa. Tukang gendam, tukang begal, tukang kutil, anggota dewan, koruptor, teroris, bupati, walikota, pelaku human trafficking, bandar togel hingga pegawai negara akan menjadi tuan rumah atau tamu. Nah, kue lebaran yang disuguhkan oleh saudara-saudara kita dengan profesi “hebat” seperti diatas juga beracun dari berbagai segi.
Kita juga kadang begitu nggetu bekerja selama Ramadhan dalam rangka mencari biaya pesta lebaran. Sampai meninggalkan puasa segala dalam rangka menjaga vitalitas serta mobilitas saat bekerja. Nah, kue lebaran yang kita beli dari uang seperti itu, kadang kurang baik bagi kesehatan ruhani. Kita sepakat jika puasa adalah kewajiban sedangkan lebaran hanyalah bonus dari haus-lapar sebulan kita. Jika sportif, apa tidak merusak substansi puasa kita jika saat lebaran kita malah mengkonsumsi kue semacam itu?
Dari hasil penelitian entah lembaga apa, telah menjadi rahasia umum jika berbagai penyakit, sebenarnya berasal dari perut dan makanan. Sebulan penuh agama mengajarkan kita menjaga kesehatan dengan membatasi asupan zat-zat berbahaya bagi tubuh. Puasa memaksa kita untuk berdiet ketat, namun saat lebaran kita malah lepas kontrol dalam rangka membalas dendam.
Tuhan menyarankan kita puasa Syawal dalam rangka mengendalikan “dendam” kita terhadap makan-minum. Selepas puasa sebulan disambut dengan pesta maha pora berbentuk makanan, minuman, kebebasan pamer, kebebasan rasan-rasan saudara A saat bertamu ke rumah saudara B, tentu Tuhan tak tega jika puasa tak membekas sama sekali dalam kehidupan kita beberapa bulan ke depan. Puasa Syawal bukanlah “niat buruk” Tuhan untuk membatasi kemerdekaan kita untuk makan-minum, namun malah mengajari kita agar tak langsung lepas kendali.