Memang alhumdulillah sudah, jelang lebaran begini pelanggan potong rambut Firman Murtadlo membludak layaknya calo politik hilir mudik ke rumah calon kepala desa. Apalagi PT. Masa Depan Suram tempat ia bekerja sedang libur total karena ini ahir tahun ajaran. Jadi pekerja rodi, eh pahlawan tanpa tanda terima itu bisa fokus dengan pekerjaan utamanya sebagai tukang cukur. Tapi karena lebaran telah bergeser fungsi serta maksud sebenarnya— untuk pesta—tetap saja penghasilan dari mencukur kurang besar untuk persiapan lebaran. Baju baru untuk istrinya, kue lebaran, mengecat rumah, membeli taplak meja, beli beras buat zakat fitrah bahkan mengganti sikat WC baru, sungguh membuat keuangan keluarga Firman devisit.
Ya Alhamdulillah masih ada pemasukan pasti. Tapi kalau diukur dengan tugasnya yang begitu besar terhadap bangsa dan peradaban, rasanya naïf benar jika Firman tak mendapat semacam parcel atau THR. Coba bayangkan, buruh pabrik yang tidak berkontribusi langsung terhadap kecerdasan umat saja, mendapat THR. Kuli bangunan mendapat sarung, baju takwa serta beberapa kaleng kue dari sang mandor. Apalagi pegawai yang tugasnya hanya keluyuran pada jam kerja menggunakan kendaraan pelat merah, mendapat parcel, THR dan Gaji Jum’at Kliwon atau gaji ke-13.
Celakanya, meski pemerintah mengancam akan mengadili atasan yang tidak memberi THR terhadap bawahannya, Firman tidak bisa menuntut. Sebab PT. Masa Depan Suram tempat ia bekerja, adalah perusahaan aneh bin ajaib. Kenapa demikian? Karena perusahaan Firman adalah perusahaan yang dikelola dengan sistem monarki zaman Majapahit. Tidak ada kejelasan hak, namun kewajiban sangat jelas. Loyalitas mempengaruhi dipecat atau tidaknya seorang pekerja dan demokrasi adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Atasan Firman ibarat kaisar Jepang yang menganggap dirinya sebagai titisan dewa. Menyangkal kehendaknya, bisa menyebabkan murka Tuhan.
Pemerintah juga sebenarnya telah memberikan semacam uang untuk membeli sabun bagi para pekerja romusha seperti Firman. Namun meski dana “beli sabun” itu sudah lama dikucurkan oleh pemerintah pusat, oleh pemerintah daerah masih diternak di bank untuk dianak-pinak bunganya. Kalau nanti sudah cukup bunga itu untuk dibagi-bagi kepada “pihak berwenang”, akan diturunkan kepada para pekerja rodi seperti Firman dengan persyaratan yang jauh lebih sulit daripada administrasi untuk meminjam uang kepada IMF.
Maka, Firman sering uring-uringan sendiri ketika merenungi nasibnya. Tugas yang ia pikul amatlah berat karena ini menyangkut keberlangsungan peradaban bangsa. Ia menerima kutukan sebagai salah satu manusia yang bertugas mencerdaskan anak manusia yang bodoh, memperhalus perangai anak manusia yang sangar, menanamkan kemandirian, memperbaiki pola pikir bahkan hingga memperkenalkan anak-anak manusia kepada Tuhan. Bahkan apabila ia khilaf, menjewer anak manusia yang berperangai hewani, ia akan dipenjara. Namun, di sela-sela itu semua, ia harus kepontal-pontal mengupayakan agar dapurnya tetap ngebul dan anak-istrinya tidak menderita busung lapar.
Firman kadang merasa dihianati nasib karena terlanjur menjadi pekerja rodi. Meski itu bukan pilihannya sendiri. Ia tak pernah melamar menjadi pekerja di PT Masa Depan Suram, ia hanya direkrut begitu saja dengan diiming-imingi gelar pahlawan. Setelah menikah dan beranak pinak, Firman benar-benar sadar jika idealisme ternyata tak bisa ditanak.
Sekarang, ia hanya bisa berharap beberapa keajaiban segera terjadi. Pertama, semoga Tuhan memberikan kesehatan agar ia bisa mengandalkan kekuatan ototnya untuk mencukur rambut. Kedua, semoga kian dekat lebaran kian banyak pelanggan yang membutuhkan jasanya. Ketiga, semoga Tuhan memberinya rejeki nomplok entah dari mana. Keempat, ia berharap pejabat yang menghalang-halangi turunnya “uang sabun” dari pemerintah pusat segera terkena stroke, lekas diganti dengan yang lebih manusiawi.
Penulis: Abdur Rozaq