Ramadhan kali ini kok tidak wangi ya, bi?” tanya Ning Maryam kepada Gus Hafid seraya menonton tv selepas tarawih.
“Lho, abi kira cuma abi yang merasa begitu?” Gus Hafid malah balik bertanya.
Ramadhan tahun-tahun lalu memang sudah kurang wangi, tapi sekarang malah agak busuk baunya. Padahal di tv orang sudah pakai kostum agamis, program-program siarannya juga menjual relijiusitas, tadarrus makin ramai, menu buka dan sahur sudah mubaddzir-mubaddir, tapi kok Ramadhan tak berbau sekali, nggih?” Ning Maryam berkata sambil memencet-mencet tombol remot karena hampir semua stasiun televisi menyiarkan omong kosong.
“Masih ingat masa kecil, bi?. Mulai bulan Rojab wangi Ramadhan sudah mulai tercium. Wangi gimana gitu. Wanginya aneh karena hanya tercium oleh indera penciuman entah yang mana. Adzan sudah menelusup ke dada, orang pujian sebelum sholat; Allahumma barik lana fi Rajaba, wa Sya’bana wa ballighna Ramadhana membawa kegembiraan yang aneh. Belum lagi wangi tembok disaput gamping, wangi daun pintu dan jendela dicat, wangi lantai bolong ditambal dengan semen, kegembiraan lebaran datang dua bulan sebelum Ramadhan. Bahkan, hmm, begitu Ramadhan hendak datang, pagar-pagar bambu diganti, perdu sepanjang jalan dirapikan, lampu dipasang di perempatan, bahkan makam-makam dibersihkan. Pak Lurah sampai mengadakan kerja bakti segala. Apalagi seminggu menjelang lebaran, tiap rumah wangi oleh vanili, mentega dan kue. Juga yang paling menyenangkan, wangi baju baru yang kita beli setahun sekali itu….hmmm.”
“Tapi wangi Ramadahan bukan hanya karena bau vanili dan mentega, kan?” kejar Hafid.
“Tentu bukan, bi. Wangi gimana, gitu?”
“Itu wangi dari langit, mi. Pintu langit kan dibuka? Lapak-lapak malaikat dijajar mulai barat hingga timur menyediakan berbagai karunia. Lha orang tua kita dulu memanfaatkan betul festival karunia Tuhan tahunan itu. Makanya, mbah-mbah kita dulu kan, hasil kerja setahun ditabung buat persiapan Ramadhan (Bukan persiapa lebaran lho ya?) Jadi begitu Ramadhan, segenap aktivitas yang berbau dunaiwi prei dulu. Ke sawah hanya melihat-lihat, ke pasar prei, pokonya prei total dalam rangka beribadah. Yang namanya bersih-bersih rumah, sudah beres saat bulan Maulid. Sebab tamu agung itu datangnya di bulan Maulid, bukan bulan Syawal. Kita kan salah kaprah? Saat ulang tahun Nabi rumah belepotan, lebaran malah pamer habis-habisan sampai mbegal, nggendam, ngorupsi, beternak uang dan jual ideologi segala.”
“Mmmm, ya benar, bi. Kalau kita sekarang, Ramadhan malah lembur-lembur dalam rangka mengumpulkan biaya pesta mahapora lebaran ya? Bahkan karena besarnya “setoran” yang mesti kita sediakan buat lebaran, kita sampai tidak tarawih, bahkan sampai mokel segala. Hmm lucu, ya? Lebaran itu kan bonusnya Ramadhan, kok malah kita jadikan tujuan hingga mengalahkan Ramadhannya sendiri?” Ning Maryam geleng-geleng seraya mematikan televisi yang tak juga menyiarkan tayangan cerdas.
“Makanya abi juga rindu dengan masa lalu. Dulu, Ramadhan begitu gebyar meski tadarrus tak pakai pengeras. Tarawih ramai selama sebulan, tidak hanya ramai pada malam pertama dan malam terahir Ramadhan. Umat, mulai anak-anak hingga para manula tak pulang-pulang dari surau dan masjid. “Kegaduhan” oleh tadarrus, televisi, anak-anak membangunkan orang makan sahur, suara mercon apalagi balap liar, tak ada. Dan orang Islam yang belum beriman, orang Islam yang belum mampu berpuasa meski sudah bau tanah, tak seenaknya sendiri pamer keberaniannya terhadap Tuhan. Sekarang, atheis-atheis amatir sudah terang-terangan ngece-ngece orang yang sedang berpuasa.”