Bagi orang-orang awam seperti Cak Manap dan para pelanggan warungnya, Ramadhan seringkali menjadi semacam siksaan tersendiri. Bagi Cak Manap pribadi, Ramadhan adalah pemangkasan durasi membuka warung kopi. Yang itu artinya, pendapatan bisa defisit, sedangkan pesta Idul Fitri, bagaimana pun caranya harus diselenggarakan. Kalau tidak, bisa menurunkan prestise bahkan bisa berdampak pada stabilitas rumah tangga. Cak Manap bukan PNS, DPR atau pegawai BUMN. Maka itu artinya, negara tak berkewajiban memberikan tunjangan apapun bagi warga negara yang taat membayar pajak, tak pernah merongrong NKRI, mendukung Pancasila dan selalu mengibarkan Merah Putih setiap bulan Agustus seperti dirinya.
Bagi sebagian orang—pelanggan warung Cak Manap—Ramadhan memiliki momok tersendiri sesuai karakter masing-masing. Bagi Firman, puasa tak seberapa masalah karena ia memang tidak begitu doyan makan. Akibat sudah terbiasa puasa mutih di pesantren, Firman terbiasa makan sekali atau dua kali sehari asal rokok dan kopi selalu tersedia. Kafein dan nikotin jauh lebih penting daripada karbohidrat bagi para “pemikir” seperti aktivis kampung itu. Makanya ia betah saja menjadi pekerja sosial di sebuah sekolah swasta, meski anak istrinya sudah lama menderita busung lapar.
Bagi Wak Takrip, Ramadhan murni siksaan tanpa memberi kabar gembira apapun. Kenapa? Karena segenap hobinya –untuk sementara—menjadi begitu tabu. Sabung ayam, tjap djie kie, togel dan segenap hal-hal “kurang pantas” harus stop sementara. Minimal lokasi serta aktivitasnya harus sedikit disembunyikan. Memang tak ada yang melarang secara langsung. Pemerintah pun—secara de jure—meridloi. Tapi sebagai warga masyarakat yang masih waras, harus ada sikap menghormati bulan becik seperti ini.
Bagi Mas Bambang yang tuntutan profesinya hanya datang, absen, apel, ngopi, nyangkruk di pasar burung lalu tiap bulan menerima gaji, puasa Ramadhan sama sekali tak masalah. Apa sih beratnya main game di kantor atau buka akun sosial media seharian dengan jaringan internet yang sudah dibiayai negara? Keponakan Firman yang masih play group juga betah berpuasa model begitu. Mas Bambang yang terlalu subur akibat kemakmuran yang ia dapatkan tanpa berkeringat, hanya mengeluhkan sholat tarawih yang naudzu billah rekaatnya itu. Ini bukan masalah tarawih depalan rekaat dan dua puluh satu rekaat, tapi hanya soal teknis saja. Maka, tiap tahun begitu Ramadah menjelang, Mas Bambang sibuk mencari info di masjid atau surau mana sholat tarawih paling cepat dilaksanakan?
Ustadz Karimun yang menyadari gelagat kambuhan umat yang suka ngebut sholat tarawih, diam-diam menempelkan semacam selebaran di pintu warung. Kenapa di pintu warung? Apa ini tidak melanggar kode etik bahwa urusan agama tidak usah dibawa-bawa ke ruang publik karena itu urusan privasi? Apa nanti tidak menimbulkan kesan fanatik berlebihan bagi sebagian –besar—pelanggan warung yang alergi agama? Jangan-jangan anak-anak mudah ramai berceloteh di media sosial kalau di kampung mereka ada seorang ustadz yang sok pahlawan membumikan relijiusitas di sembarang tempat? Jangan-jangan Ustadz Karimun dituduh sok alim, lalu dipisuhi, dihujat, di-jancuk jarankan? Ah, Ustadz Karimun biasanya tak ambil pusing dengan urusan begitu.
Pertimbangannya adalah, kalau ditempel di surau, paling hanya orang yang sudah terbiasa berjamaah yang membacanya. Kalau ditempel di pintu warung, siapa pun bisa membacanya. Tak peduli kalau nanti angka-angka dalam selebaran itu diramesi untuk dibeli nomor togelnya. Lagi pula, kalau stiker partai yang membohongi umat saja boleh ditempel, masa selebaran iklan tarawih tidak boleh, katanya demokrasi?