Meski terlambat, acara tahunan Pasoeroean Djaman Bijen masih diadakan tahun ini. Dan semoga tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya menjadi ajang abang-abang lambe pelestarian kearifan lokal. Tidak hanya menjadi pasar tumpah jajanan tradisional yang dikulak entah darimana itu. Tidak hanya menjadi pawai budaya, dimana setiap orang tiba-tiba pakai blangkon, kostum pahlawan atau bersepeda ontel.
“Saya yakin, acara ini pasti kita jiplak dari Malang Tempo Doloe” kata Firman Murtadho. Harap maklum kalau aktivis kita ini serba curiga. Orang yang bertahun-tahun dikorbankan oleh sistem memang paranoid begitu. Sudah belasan tahun ia bekerja di PT. Masa Depan Suram, namun pemerintah belum juga ada iktikad baik terhadap nasibnya. Meski ia telah mencerdaskan ratusan anak bangsa.
“Bedanya, kalau di Malang banyak bazar buku dan komunitas-komunitas pegiat kebudayaan yang tampil, di kota kita hampir semuanya kulakan.”
“Kita memang tak punya kebudayaan asli daerah. Hampir semua budaya kita impor. Padahal, dulunya kita termasuk tetangga dekat Majapahit di Mojokerto.”
“Majapahit sendiri sudah puluhan abad runtuh lho, cak”. Serga Pak Sukiran, guru SD.
“Surakarta dan Jogjakarta ya sudah lama ditinggalkan Mataram, pak. Tapi hingga kini masih menjadi cagar budaya. Blambangan juga hampir seumuran Majapahit, tapi sampai kini masih punya Gandrung, bahasa Osing dan lagu-lagu daerah mereka bisa go nasional.”
“Benar juga ya?”
“Kita ini nanggung. Islami bukan, kejawen ya tidak.”
“Lho, kok ada islami dan kejawen segala?” sergah Ustadz Karimun yang dari tadi diam saja. “Perlu diralat cak, islam Indonesia itu khas lho, Islam ya Jawa, Jawa ya Islam.”
“Maksud saya, ada beberapa kebudayaan rakyat yang murni kejawen seperti reog itu, ustadz.”
“Ah, reog juga pakai alfatihah lho, cak.”
“Tapi kita benar-benar gawat, ustadz. Krisis inovasi. Padahal apa yang tidak kita punya? Kota kita ini terbentang mulai dari pantai hingga pegunungan. Diapit dua kota besar, Surabaya dan Malang, kota industri dan pendidikan. Kalau mau belajar soal kualitas pendidikan kita bisa mencontek dari Malang. Kalau mencontek soal bisnis dan perindustrian, kita bisa meniru Surabaya dan Sidoarjo. Kekayaan alam dan SDM juga lebih beragam dibandingkan dengan Sidoarjo. Apalagi Surabaya.”
“Ya maklum lah mas, kita kan di pelosok.” Kata Pak Sukiran.
“Kalau bilang pelosok, Banyuwangi malah berada di ujung pulau Jawa, tapi mereka lebih maju dari kita. Sering masuk televisi.”
“Kota kita kan sering juga masuk televisi?.”
“Ya, terutama dalam berita kriminal, khususnya kasus begal.”
“Yang paling menyakitkan itu, toko buku tak pernah bertahan lama di kota ini. Kalau dealer motor dan counter HP, selalu ramai seperti penjual cilok.”
“Herannya, kalau meniru hal-hal kurang bermanfaat bahkan tak senonoh, kita tak pernah ketinggalan. Di Jakarta musim balap liar, di sini juga. Bahkan tingkat invirjinitas anak-anak kita sama dengan anak-anak di ibu kota sana.”
“Pasuruan masih jaman biyen kalau dibanding dengan kota-kota lain.”
(Abdur Rozaq)