Memang tidak salah jika kita kritis dan sedikit nyinyir. Paling tidak, itu menunjukkan jika kita memiliki kepedulian terhadap perkembagan pemikiran Islam dewasa ini. Memiliki ghirrah luar biasa untuk ”memasukakalkan” serta meng-up date Islam agar tak ketinggalam zaman. Sayangnya, kita kadang ceroboh memangkas semua peninggalan masa lalu. Pintu ijtihad memang masih terbuka hingga kini, tapi tak sembarang orang bisa memasukinya, menjadi pelaku. Ada kompetensi-kompetensi tertentu yang harus kita penuhi agar layak menjadi penerjemah bahasa Al Quran ke dalam bahasa bumi. Jika tidak, maka sebaiknya kita dalami dulu disertasi-disertasi karya para doktor masa lalu itu. Belum perlu membuka jalan sendiri karena jejak tersebut masih terlalu lapang. Kita sih, kurang jauh menapakinya.
Kita yang suka ngeyel bahwa Indonesia ini adalah negara kafir, taghut dan darul harby, negara yang wajib diperangi karena tidak menggunakan hukum Islam dan mendirikan khilafah islamiyyah, sepertinya harus kembali belajar di madrasah diniyyah.Sekolah paling dasar dalam Islam atau setingkat SD. Di madrasah dan pesantren kita akan diajari untuk lebih menaruh rasa hormat terhadap perbedaan ideologi dan pandangan. Di Pesantren dan madrasah kita akan belajar mencerna makna ayat dan hadits secara jernih karena metodologi penafsiran ulama kuno begitu mendalam, lengkap dan jernih. Islam tidak pernah mengajarkan penganutnya untuk marah-marah tanpa sebab karena ia adalah rahmat. Tak ada sepotong ayat pun yang memerintahkan agar kita mengganggu orang apalagi saudara sendiri tanpa suatu alasan yang benar. Maka jika kita telusuri, radikalisme adalah ibarat ejakulasi dini dari penetrasi kita dengan Islam yang belum terlalu dalam. (Abdur Rozaq)