“Ada warga yang cerita sama saya, mau gimana lagi lha wong itu yang bisa ia lakukan. Saya hanya bisa kasih saran, kalau denger suara orang bercinta, Stel (bunyikan) musik yang keras,” kata Hardi Utoyo, salah seorang tokoh masyarakat di kawasan Tretes, Prigen.
Prigen (wartabromo) – Gambaran yang disampaikan oleh Hardi, menunjukkan jika telah terjadi pergolakan batin yang dialami oleh warga di lingkungan Tretes, Prigen selama ini. Namun demikian, pergolakan itu telah ditutupi oleh tingginya sikap toleransi yang selama ini dijalankan oleh warga.
Kemunculan Perda nomer 10 tahun 2001 tentang larangan pelacuran di wilayah Kabupaten Pasuruan seakan tak mengusik ketenangan bisnis yang telah melilit warga bersama para pengunjung ‘nakalnya’ di kawasan tretes, Prigen ini.
“Kehidupan disini sangat kondusif, aman, tentram. Bisnis “Begituan” tertutup dan rapi, namun perlu diketahui bahwa para mucikari serta PSK bukan penduduk asli setempat, rata-rata dari Banyuwangi, Malang maupun Bondowoso,” kata salah seorang Ketua RT di lingkungan Watu Adem.
Menurutnya, lingkungannya sangat aman lantaran jarang sekali terjadi grebekan atau razia dari Polsek maupun Satpol PP.
“Tidak ada iuran atau upeti, cuma kalau dan even (kegiatan) yang diadakan Polsek, Kecamatan atau Kelurahan kita minta para mucikari untuk andil dan berpartisipasi,” tambahnya.
Aturan Pemerintah yang melarang adanya praktek prostitusi, hampir tidak ditaati. Hal ini terjadi karena proses kemunculan perda tersebut sama sekali tidak melibatkan tokoh masyarakat Prigen serta tidak menyerap aspirasi warga.
Bisnis prostitusi di kawasan Tretes, Prigen ini adalah salah satu roda ekonomi bagi warga baik oleh tukang ojek, pemilik villa, pedagang bakso, sate, warung-warung kelontong dan lain-lain. Minimnya pengembangan dan promosi wisata oleh Pemerintah daerah terhadap kawasan ini adalah salah satu faktor penyebabnya.
(Baca: Curhat PSK Tretes Alasannya Terjun ke Dunia Esek-esek)
Di lingkungan Watu Adem terdapat 42 Kepala Keluarga, sedangkan rumah atau villa yang dikontrakan oleh warga ada 8 unit dengan jumlah mucikari sebanyak 8 orang dengan anak ‘nakalnya’ antara 3-5 orang.
Yang menarik, kehidupan warga di lingkungan ini sangat menjunjung tinggi toleransi. Pembacaan yasin dan tahlil tetap diselenggarakan setiap minggunya khususnya pada malam jumat. Para tukang ojek pun sangat tertib satu sama lain dan saling memahami aturan mainnya.
(Baca: Kenalan Sama “Mbak-mbak” Tretes)
“Warga sudah terbiasa dan sama sekali tak terpengaruh,” Ujar Ustadz Suharto (65) Ketua ta’mir Musholla Miftahul Iman, Kelurahan Pecalukan yang lokasinya tak jauh dari lingkungan Watu Adem.
Imam Masjid dan juga pengajar TPQ dengan 15 santri ini mempunyai motto “Islam Itu Damai” sehingga tak pernah ada pertentangan dari warga akan adanya prostitusi. “Yang penting semua sudah paham,” tambahnya.
Agar suasana kondusif dan warga tak terpengaruh, lanjutnya, dirinya sering memberi arahan kepada santrinya supaya menjadi anak yang baik dan taat kepada orang tua, arahan tersebut kerap diberikan kepada warga saat mengisi acara rutin tahlilan atau yasinan yang diselenggarakan di rumah warga secara bergantian.
Menurutnya, baik para PSK maupun mucikari rata-rata bukan merupakan warga asli Pencalukan melainkan dari luar Prigen.
Salah seorang warga lainnya yang tinggal di lingkungan Gang Sono mengatakan, awalnya mereka risih dengan adanya wanita penjajah seks di kawasan tersebut. Namun lama kelamaan warga menjadi biasa, bahkan tidak peduli lagi terhadap profesi PSK yang ada di sekitarnya. Kendati demikian, warga selalu waspada terhadap bahaya penyakit seksual menular seperti HIV/AID yang bisa saja mengancam warga setempat.