RSUD Guantanamo

752

” Perawatnya seperti pemain sinetron, gus” ujar Yu Markonah.

” Wah, cantik-cantik, dong. Tapi kok malah cemberut?” sambar Mas Bambang.

” Seperti pemain sinetron pemeran antagonis” balas Yu Markona seraya mencep.

” Ooo…”

” Karena kami pakai jamkesmas. Datang di-prenguti, nyuntik pakai gaya kungfu, semoga saja tanggal kadaluarsa pada botol obat masih lama.”

” Ah, jangan bikin isu. Terjerat pasal tindakan tidak menyenangkan nanti, yu. Saya dulu dilayani dengan baik, kok.” Ustadz Karimun coba meredam.

” Pakai Jamkesmas, membebani pemerintah apa mandiri tidak menambah tanggungan negara, gus?”

” Alhamdulillah saya tidak merepotkan pemerintah.”

” Lha itu masalahnya. Itu pasien di ranjang sebelah, dapat senyum setiap kali mau disuntik. Sepertinya perawat dan dokter di sini lupa kalau dulu pernah mendapat materi Senyum Costumer Service saat kuliah. Pasien yang tidak merepotkan pemerintah dapat senyum, yang membebani APBD dapat plerokan. Saya takut Cak Manap makin parah kalau tetap di sini. Jangan –jangan penyakitnya yang hanya gejala, meningkat menjadi stadium 67 karena makan ikan hati.”

” Ah, jangan lebay, yu. Seperti anak muda saja” timpal Cak Mukri.

” Tiap hari saya mendapat psy war, cak. Ambil obat di loket dibilang ’anda belum beruntung, coba lagi besok’, padahal barusan pasien sebelah mengambil obat yang sama. Menyerahkan surat dari kelurahan diberi ”bimbingan mental” seperti mahasiswa baru di ospek. Bolak-balik 265 kali, dokumen harus lengkap demi tertib administrasi. Mana lagi balai desa sering pindah ke warung, para perangkat sibuk menggagas rencana program desa di sana. Pas saya minta surat keterangan belum mampu untuk tidak merepotkan negara, Pak Lurah malah sibuk mendata janda-janda muda yang perlu ”disantuni”.

” Bukannya kami rewel, kami hanya menjalankan amanat UUD ’45 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat palayanan kesehatan yang memadai. Toh kami selalu membayar pajak bahkan saat membeli sesendok gula. Kami tidak pernah bermaksud mendirikan dalam negara, tak pernah ngerasani presiden, tidak pernah protes meski kami membayar mahal orang bertengkar di Senayan sana. Orang-orang berseragam coklat yang rutin ngopi pada jam kerja di warung, juga kami layani dengan baik. Jalan berlubang-lubang, listrik sering dipadamkan dalam rangka hemat energi, begal jarang tertangkap, guru-guru dimohon keikhlasannya menjadi pekerja sosial—menjadi pahlawan kemanusiaan sekaligus pecundang bagi keluarga–, wartawan disarankan menulis berita baik, kami diam. Nah, sekarang, saat kami dengan amat sangat terpaksa membebani negara untuk mendapat pelayanan kesehatan kok malah begini jadinya?. Saya yakin kok, pegawai rumah sakit tidak diberi honorarium untuk mleroki pasien dan keluarganya.” Hmm, gara-gara suka buka Facebook Yu Markonah bisa cerdas begini.

” Kemarin, seorang pasien yang juga merepotkan negara dengan membebankan biaya kesehatannya, juga mendapat bimbingan mental setara prajurit tamtama. Ibu muda yang sedang bertaruh syahid melahirkan jabang bayi itu diberi arahan kontraksi mirip komandan latih Kopassus sedang memberi arahan anggota baru. Keluarganya hanya diam karena telah bersalah membebani negara. Dan mereka rupanya juga paham kalau di Indonesia Raya ini salah kaprah masih kental. Orang sering lupa jika rakyat yang membayar pajak pada hakikatnya adalah raja dan mereka yang dibayar dari pajak adalah pelayan, eh, punggawa kerajaan. Di Indonesia Raya ini –kita tahu—orang berseragam seakan lebih tinggi derajatnya dari yang tidak berseragam”. Wah, jangan-jangan Yu Markonah terjerat pasal berlapis : tindakan tidak menyenangkan, tidak menyembah abdi negara, memancing kericuhan wacana, mengganggu stabilitas dan tuduhan dibuat-buat lainnya.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.