Cak Manap langsung gusar begitu seorang penjual terompet singgah di warungnya. Jangan-jangan dagangan yang ia bawa juga terbuat dari sampul Al Qur’an seperti yang ramai diberitakan. Kalau benar begitu dan kebetulan ”ustadz” Abu Hambali lewat di depan warung, Cak Manap akan mendapat celaka. Kalau terjadi sweeping dan terjadi kericuhan, warung Cak Manap bisa menjadi TKP. Disegel dengan pita police line. Tapi Cak Manap masih mengendalikan sikap. Pertama, ini negara hukum. Kasus kecil semacam menjewer telinga orang bisa berakibat fatal didenda jutaan rupiah atau meringkut di hotel prodeo. Makan minum gratis ditanggung pemerintah. Kedua, umat Islam seperti Cak Manap diwajibkan sabar bagaimana pun menyakitkannya orang menyindir agamanya. Bagaimana pun usaha para zionis membantu rakyat Palestina, Irak, Libya, Afganistan menemukan syahid dijalan Allah, umat Islam harus bersabar. Bereaksi sedikit saja, seluruh telunjuk manusia sedunia akan menuding sebagai teroris.
Ketiga, kalau Cak Manap rewel, bertanya ini –itu kepada penjual terompet, ia pun khawatir dituduh sebagai penganut Islam garis keras. Pelanggan warung penganut liberalisme, pluralisme serta penganut atheisme akan menuduh Cak Manap rasis. Kaku. Sok alim, sok islami dan entah apa lagi. Islam memang sering dianggap kaku oleh penganutnya sendiri yang masih saja ”muallaf” meski telah menganut Islam sejak lahir. Cak Manap hanya beristighfar berkali-kali karena tidak bisa berbuat apa-apa. Kepentingan ekonomi Cak Manap seakan lebih berarti dari pada ideologi bahkan teologinya.
Maka setelah menyuguhkan kopi kepada penjual terompet, Cak Manap pura-pura melihat-lihat terompet itu. Pura-pura memilih, ditiup seraya memeriksanya. Meski ia tak tahu apa yang mesti diperbuat andai benar terompet itu terbuat dari sampul Al Qur’an. Demokrasi dan HAM memaksa siapa pun untuk bersabar andai ditempeleng orang. Demokrasi sering kali melegalisasi orang untuk berbuat sesuka hati. Dan HAM seringkali melindungi orang paling iseng sekalipun.
” Wah, mau tahun baruan di mana, Cak?” tegur Ustadz Karim, tiba-tiba sudah duduk di lincak warung.
” He he, Cuma melihat-lihat, ustadz”
” Beli satu. Buat anak sampeyan”
” Lho, katanya haram, ustadz?” Cak Manap berbisik seraya melirik penjual terompet yang sedang melakukan ritual nyeruput kopi panas dan menyalakan rokoknya.
” Tidak langsung haram begitu. Lihat niatnya dulu.” Cak Manap manggut-manggut. Ustadz Karim memang tidak memelihara jenggot, makanya hati-hati benar mengharamkan sesuatu.
” Tapi saya sedih menjelang tahun baru ini” kata Ustadz Karim.
” Karena umat Islam latah?”
” Itu tak seberapa. Itu Cuma masalah budaya.”
” Budaya kurang benar bisa juga merusak lho, ustdaz.”
” Sekarang sama makin sedih.”
” Kenapa?”
” Karena kita suka meributkan hal-hal kecil seraya meremehkan hal-hal gawat.” Cak Manap terdiam.
” Tahun baru itu mestinya kita tangisi karena waktu makin mendekatkan kita ke liang lahat. Apalagi Nabi pernah dawuh, detik ini jauh lebih baik daripada detik selanjutnya. Waktu membawa dunia menuju kehancuran. Tahun lalu orang malu terang-terangan mengakui jika ia melanggar norma, tahun ini orang malah bangga dengan itu. Tahun lalu sembunyi-sembunyi melakukan ketidaksenonohan, tahun ini malah diumumkan. Tahun lalu orang beragama ditertawakan, tahun ini sudah diantar ke sorga dengan syahid. Tahun lalu rakyat dibohongi, tahun ini dibohongi, ditipu, dicekik dan dimutilasi. Tahun lalu anak sudah mendikte orang tua dan guru, tahun ini orang tua resmi menjadi pesuruh dan guru dianggap sebagai buruh. Tahun lalu orang hanya menyindir saudaranya yang berteriak Allahu Akbar, tahun ini sudah berani misuhi. Apakah salah jika seorang saudara mengingatkan sudaranya agar memiliki rasa cemburu terhadap agamanya yang selalu dicolek tetangga? Apakah salah jika orang merasa risih jika ruang tamunya dikencingi? Tahun lalu orang-orang seperti itu hanya di-dehemi, sekarang sudah dituduh teroris. Masa menjaga rumah sendiri dituduh sebegai tukang teror?”
” Lagi pula cak, alam ini sudah letih menangisi kepongahan kita. Tahun lalu bayi-bayi hasil eksperimen diletakkan dalam kardus dititipkan di teras musholla, tahun ini ditinggal begitu saja di kloset umum, di kebon pisang atau di got. Kadang disedekahkan kepada semut, tikus atau biawak. Tahun lalu anak SD sudah melakukan eksperimen biologi bab reproduksi, tahun ini anak TK sudah bisa. Tahun lalu anak SD di kampung sudah terbiasa menelan ”obat penenang”, tahun ini anak SD dan anak TK sudah ketagihan. Lha tahun depan bagaimana?”
” Yakinkah kita jika tahun yang baru nanti bisa memberikan harapan yang lebih baik? Lapangan kerja makin sulit, pendidikan dikapitalisasi, kesehatan haram kita dapatkan. Hutang makin numpuk. Para politisi makin ”cerdas”. Para pemimpin makin peduli terhadap dirinya masing-masing.”
” Nabi tidak seperti politisi, cak. Nabi tak suka basa-basi apalagi berbohong. Janji beliau tentang hal-hal mengerikan yang akan datang kepada kita di penujung zaman, pasti benar. Nah kalau begitu, apa yang mesti kita rayakan?”
” Berarti kita pesimis, ustadz?”
” Pesimis itu kalau mengkhawatirkan ketakutan yang tidak nyata. Sedangkan bencana zaman sudah jelas kengeriannya, bukan?”
” Makanya mohon maaf, saya tak tega mengucapkan selamat tahun baru 2016. Saya juga tak sampai hati merayakan datangnya bencana kemanusiaan tahun ini.” (Abdur Rozaq)