Tak Punya Sanggar, Kostum Dan Gamelan Pinjam
“Masih banyak anak muda Cendono yang suka dengan Terbang Laro. Mereka juga mau berlatih dan siap saja jika diajak tampil. Nggak susah kalau cari pengganti,” kata Hari (49), seniman Terbang Laro yang sudah bertahun-tahun setia sebagai pemukul terbang.
Yang disampaikan Hadi diamini Kepala Desa Sanari, Ketua Kesenian Terbang Laro Hasan, dan Widi salah satu anggota Terbang Laro dalam berbincangan akrab di Balai Desa Cendono, pada saat para seniman tengah menjalani latihan terakhir sebelum berangkat ke Banyuwangi.
Bertolak dari kata-kata Hadi, regenerasi seniman Terbang Laro sampai beberapa tahun kedepan tidak perlu dikhawatirnya. Namun, para seniman khawatir karena seni tradisional seperti Terbang Laro merupakan kesenian yang rentan ‘patah’ sehingga butuh perhatian dan harus diperjuangkan.
Perjungan seniman Terbang Laro tidak usah diragukan. Bisa menjadi bagian dari eksistensi kesenian tersebut merupakan kebanggaan. Menyaksikan Terbang Laro tetap eksis membuat mereka bahagia. Komitmen mereka tidak bisa dibantah, meluangkan waktu, tentu saja biaya demi Terbang Laro tercinta.
“Terus terang kami tidak pernah berharap materi dari kesenian ini. Kami hanya ingin warisan ini tetap lestari,” kata Hasan, Ketua Kesenian Terbang Laro.
Hasan mengatakan, tidak ada satupun seniman menjadikan uang sebagai motivasi mereka tetap aktif berkesenian, meski mereka mendapat sejumlah uang setiap kali pertunjukan. “Biasanya, semuanya dapat bagian Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu sekali tampil. Uang sejumlah itu tentu saja akan ludes untuk biaya jamu, rokok. Kalau ada sisa, bisa untuk bekal ngopi di malam hari selepas bekerja,” ujar Hasan sembari tersenyum.
Hasan, Sanari dan lainnya mengaku bangga karena apresiasi masyarakat masih tinggi. Menurut dia, dukungan yang diberikan warga Desa Cendono juga sangat membantu para seniman.
“Saat ini kami dalam proses membangun sanggar secara swadaya. Tapi memang masih dalam bentuk pondasi. Kami berharap dengan adanya sanggar, kesenian ini bisa terjaga,” harap Hasan.
Para seniman Terbang Laro juga bersyukur karena pemerintah member perhatian meski terbatas. Setiap akan tampil, mereka diperkenankan meminjam kostum dan seperangakat gamelan di dinas pariwisata. “Dulu kostum dan alat pinjam sendiri sehingga ada biaya tambahan,” tutur Hasan.
Menyelamatkan Terbang Laro
Dalam hemat penulis, menjaga kesenian tradisional seperti Terbang Laro tidak cukup dengan meminjami kostum dan alat musik. Eksistensi Terbang Laro, dan juga kesenian tradisional lain, sangat bergantung pada sering tidaknya penampilan. Regenerasi yang berjalan lancar, semangat spartan para seniman tidak ada artinya jika sebuah kesenian tidak – atau jarang – ditampilkan.
Nah, di sana sebenarnya peran pemerintah daerah dibutuhkan. Pemerintah seharusnya mampu menciptakan even-even kebudayaan sehingga kesenian-kesenian tradisonal memiliki ‘panggung.’ Panggung itu bisa dikemas dalam Pekan Budaya, Bulan Budaya, Festival Kesenian Tradisional, Festival Kesenian Pantura, Festival Seni Reliji, Festival Seni Arjuno dan – tentu saja — masih banyak lagi even yang bisa diciptakan.
Menjaga eksistensi kesenian tradisional juga bisa dilakukan dengan mensinerjikan kesenian dengan kepariwisataan. Upaya ini tentu membutuhkan konsep yang matang dan tidak boleh serampangan.