Hasan, Ketua Paguyuban Terbang Laro mengatakan, tarian-tarian yang dimainkan dalam Terbang Laro merupakan hasil cipta, rasa dan karsa seniman-seniman Cendono. Gerakan-gerakan dalam tarian-tarian menyampaikan pendidikan lewat simbol-simbol gerakan. Tari Adrek Duduk, Kendayan, Seri, Polisi, Lingsir dan Monelan merupakan tarian asli Terbang Laro.
Meski sudah memiliki tarian khas, seniman Terbang Laro yang juga seorang kepala desa yang menjabat pada periode 1975-1982, Midjo Adji Soemitro, mengadopsi tarian luar daerah untuk memperkaya khasanah Terbang Laro, diantaranya Tari Derok, Payung, Lilin dan lainnya.
Evolusi Terbang Laro tidak sampai di situ. Seniman juga menambahkan seperangkat alat musik gamelan yang dipadu-padankan dengan alat musik sebelumnya sehingga memperkaya musikalitas. “Yang terpenting ciri khasnya nggak boleh hilang,” kata Hasan.
Mati Suri… Hidup Kembali
Lazimnya kesenian tradisional – di Kabupaten Pasuruan – Terbang Laro juga survive karena masih ada orang yang mempedulikannya. Seniman-seniman Terbang Laro yang tidak mau warisan leluhur tersebut hilang berjuang keras agar kesenian ini terus bertahan di tengah kesenian populer yang lebih digandrungi generasi muda.
Terbang Laro mengalami masa-masa sulit dan masa indah (baca: kejayaan). Sejak dideklarasikan pada 1953, kesenian ini terus dikenal dan mendapat berbagai undangan tampil ke berbagai desa di Purwosari dan juga desa-desa di seluruh kecamatan di Kabupaten Pasuruan. “Hampir semua desa di seluruh kabupaten pernah mengundang kami,” ujar Hasan.
Selain undangan-undangan hajatan pernikahan, khitanan, Terbang Laro juga mulai sering ditampilkan di even-even seremonial pemerintah seperti hari jadi kabupaten.
Hasan mengatakan, selain kerja keras para seniman, kepedulian dan dukungan kepala desa juga sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi Terbang Laro. Hasan pun mengenang masa-masa kejayaan Terbang Laro pada masa kepala desa bernama Ruslan yang menjabat pada periode 1953-1975 dan putranya, Midjo Adji Soemitro, yang menjabat pada periode 1975-1982. Di masa kedua kepala desa inilah Terbang Laro mendapat dukungan penuh baik pendanaan maupun akses untuk bisa tampil ke luar Purwosari.
“Pada tahun 1982-2002 di masa Kepala Desa Bapak Ali Sutejo, Terbang Laro mengalami penurunan drastis dan hanya tampil di even-even pemerintahan saja. Main saat hari ulang tahun berdirinya saja dan beberapa kali tampil di rumah salah satu anggota yang punya hajatan,” kata Hasan.
Pada rentang waktu ini, Terbang Laro mulai lesuh dan mati suri. Pada masa ini, terjadi penggabungan tiga tarian yakni Tari Adrek Duduk, Seri, Lingsir dan Tari Polisi menjadi sebuah Tari Takruk. Tari Takruk ini yang saat ini sering dimainkan dalam pertunjukan.
Terbang Laro kemudian bangkit saat pemerintah daerah menunjuk kesenian ini tampil mewakili Kabupaten Pasuruan mengikuti festival kesenian reliji di Taman Budaya Jawa Timur pada 2007. “Saat itu seorang perangkat desa bernama Hasan As’ari yang juga seniman dan sangat mencintai Terbang Laro kemudian mengumpulkan para seniman untuk berlatih lagi agar tampil bagus di festival tersebut,” kata Sanari, Kepala Desa Cendono, menimpali.
Sejak saat itu, Terbang Laro mendapatkan nafas kedua. Para seniman kembali punya gairah untuk berkarya. Apalagi pemerintah daerah sering menunjuk kesenian ini mewakili Kabupaten Pasuruan untuk tampil di luar daerah.
Terbang Laro tampil di festival kesenian pesisir utara pada 2008 di Pantai Bentar Probolinggo, tampil di sebuah acara di TVRI pada tahun 2009 dan pada 2011 tampil di Hari Jadi Kabupaten Gresik. Terbang Laro juga dikenalkan sebagai kesenian khas Pasuruan saat tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 2014 lalu.