Kesenian Karya Para Petani
Kesenian Terbang Laro tidak ujug-ujug muncul seperti yang ada saat ini. Kesenian ini dibangun dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang tumbuh di masyarakat Desa Cendono dari waktu ke waktu. Mengisahkan Terbang Laro, tidak bisa lepas dari komunitas yang melahirkan kesenian tersebut.
Desa Cendono berada di lereng Gunung Arjuno berada pada ketinggian 560 meter di atas permukaan laut. Lazimnya masyarakat yang bermukin di lereng pegunungan, mayoritas penduduk bermata-pencaharian sebagai petani dan berkebun buah. Desa ini terbagi menjadi tiga dusun, yakni Dusun Jati Kauman, Dusun Sumberyudo dan Dusun Pesanggrahan. Total penduduknya tahun 2015 mencapai 3.208 jiwa.
Kesenian Terbang Laro muncul dari aktivitas beberapa petani untuk melepaskan lelah dan mengusir penat setelah seharian bekerja di sawah. Pada malam hari mereka berkumpul dan menghibur diri dengan terbangan.
Dari sekedar aktivitas melepas lelah dan mengusir penat, lama-kelamaan memunculkan gagasan membentuk paguyuban kesenian terbangan. “Sekitar tahun 1950 sudah terbentuk paguyuban terbangan di sini,” kata Kepala Desa Cendono, Sanari.
Cara masyarakat Cendono di masa lalu memilih terbangan sebagai aktivitas hiburan mencerminkan kuatnya relijiusitas mereka. Hal ini menarik karena kebanyakan komunitas masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Arjuno-Welirang jamak menggandrungi kesenian Bantengan atau melakukan Sedekah Bumi sebagai manisfestasi relijiusitas Islam-Jawa. Tentu saja, dibutuhkan studi khusus untuk menelusuri kecenderungan-kecenderungan tersebut. Namun, kenyataan itu bisa jadi penegas bahwa Terbang Laro merupakan kesenian asli Cendono.
Sanari mengatakan, sejak terbentuk paguyuban terbangan, warga mulai serius melakukan latihan. Lambat-laun kelompok terbangan ini dikenal orang dan mulai diudang mengisi acara hajatan seperti hitanan, pernikahan hingga tingkepan. Bukan hanya di Cendono, kelompok ini mulai diundang ke luar desa dan luar kecamatan.
Terbangan Cendono saat itu tidak berbeda dengan terbangan di daerah lain, yakni menggunakan alat musik terbang dan jidor untuk mengiringi lantunan sholawat. Namun, ada yang khas! Selain sholawat, juga juga dilantunkan syair dalam bahasa Jawa bergantian dengan lantunan sholawat saat terbangan.
“Sampai sekarang masih ada. Selain bersholawat juga ada nyanyian dalam bahasa Jawa,” terang Sanari. Sayangnya, Sanari tidak mengetahui secara pasti mengapa ada lagu bahasa Jawa dalam terbangan Cendono. “Nggak tahu saya, mungkin itu berasal dari dialog-dialog orang di masa dulu yang dilagukan. Yang jelas itu juga dinyanyikan saat ini dalam Terbang Laro,” kata Sanari.
Setelah Terbangan Cendono semakin dikenal dan semakin sering diudang, muncul ide dan gagasan dari anggota kelompok untuk mengembangkan terbangan agar lebih menarik. Peralatan yang tadinya hanya terbang dan jidor ditambah dengan ketipung, baik lanangan maupun wedoan. Terbangan yang tadinya hanya untuk mengiringi syair dan sholawat ditambah dengan tarian, lawakan hingga seni lakon.
Kreatifitas tersebut semakin memperkaya unsur dalam Terbangan Cendono hingga pada tahun 1953, kesenian ini berubah nama menjadi Terbang Laro. Tahun 1953 juga dikenang sebagai tahun berdirinya Terbang Laro.