Seperti biasa, setiap kali menghadapi masalah kecil maupun besar—bahkan remeh-temeh—Surip akan sowan ke dalem Kiai Sobir. Bukan untuk meminta wejangan, tapi buat adu argumen dengan beliau. Jika argumen Surip yang lebih “benar”, tentu saja petuah Kiai Sobir takkan berguna. Baru jika argumen sang Kiai yang menang, Surip akan menimbang-nimbang sebentar sebelum menerapkannya sebagai keputusan.
” Memangnya kenapa harus berhenti jadi guru?” Tanya Kiai Sobir.
” Tidak prospek, Kiai”.
” Sampeyan sih, menganggap amanat sebagai profesi”.
” Semua orang kan beranggapan begitu, Kiai?”.
” Jadi kalau orang terbakar, Sampeyan juga akan ikut bakar diri?”.
” Ini kan zaman tren, Kiai. Kalau kita melawan arus, bisa babak belur sendirian nanti”.
” Rupanya Sampeyan belum bakat jadi orang besar. Buktinya, Sampeyan kurang betah lapar dan mudah tergoda untuk membatalkan puasa, padahal lebaran hampir menjelang”.
” Wah, saya kurang percaya kalau puasa semacam ini akan berahir dengan lebaran, Kiai. Selama ini yang ada hanya puasa multidimensi. Sampai H- 3 kiamat pun takkan ada kabar baik”.
” Ya salah Sampeyan sendiri, kenapa berkah Tuhan dikalkulasi dengan rumus matematika segala?”. Surip terdiam.
” Coba tengok Ustdaz Ainul Yaqin dan Ustadz Mutawakkil Billah, hanya guru madarasah diniyah tanpa NIP, tapi tak pernah bingung soal nafkah. Bahkan sudah berkali-kali berhaji. Nalar filsafat mana yang berani membenarkan kenyataan itu?”.
” Lagi pula saya sudah tidak betah dengan profesi ini, Kiai. Sejak pemerintah sering ragu menentukan kurikulum, profesi ini jadi tak menentramkan hati nurani. Bagaimana tidak, wong kami diharuskan menjadi pencetak para pembohong saat Ujian Nasional. Apalagi, setelah pemerintah ikut campur terlalu jauh dengan menerapkan prinsip menjunjung tinggi HAM dan “pembeli adalah raja” di perusahaan ini, kami benar-benar jadi buruh karenanya”. Kini giliran Kiai Guevara yang terdiam.
“Sebagai pelayan, tentu saja kami harus selalu mengalah jika “pembeli” bertindak seenak perut sendiri. Tentu saja kami tak pernah benar dalam memberi pelayanan. Selalu dinilai kurang profesional padahal sudah bekerja maksimal. Jika konsumen puas, kami tak pernah dipuji, tapi jika konsumen –sedikit saja—dirugikan, sudah pasti mereka akan lapor ke DPR, media bahkan PBB”.
” Tapi, kan, tugas buruh, eh, guru memang demikian, Mas?”
” Mendingan jadi buruh beneran, Kiai. Imbalannya sepadan”.
” Bagaimana kalau sistem penggajian Sampeyan kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan, bukankah kita sudah membuktikan kalau Ustadz Mutawakkil bisa bertahan hanya dengan menjadi guru madrasah diniyyah dan tanpa NIP?”
” Sebenarnya sih, saya juga ingin seperti itu, tapi sayang, saya masih muallaf hingga kini, Kiai”. Penulis | Abdur Rozaq