Tapi kalau dipikir-pikir, diam-diam Bapak memang punya kharisma. Buktinya, ketika ngobrol dengan beliau kami tak bisa sembarangan ngomong seperti ketika nggedabrus di warung kopi depan kampus. Tidak ada kata-kata sinis dan kasar. Tidak ada kritik dan saran atau sekedar pesan-kesan. Dan kami selalu setuju dengan segenap konsep-konsep Bapak. Di depan megaphone, di tengah jalan, apalagi di depan kamera media kami bisa bicara ngawur dan sensasional. Di depan megaphone, jangankan camat, presiden pun berani kami hujat.Tapi di hadapan Bapak, kok bisa begini ya jadinya?. Kami kok bisa jadi pendiam dan penurut begini, kami tiba-tiba selalu sepandangan dengan Bapak. Semuanya terkendali!. Beringas kami, minggat entah kemana. Kami kembali pada karakter sebenarnya: penjilat !. Kami juga pernah ketemu dengan seorang raja dari keraton Yogyakarta, pernah foto bersama Wakil Gubernur. Hawanya ya begini. Bisa membuat kami merasa kerdil dan ingin “menyembah”.
Masih tersimpan jelas peristiwa dramatis kedatangan Sang Raja dan Wakil Gubernur. Masih jelas kami rekam detik-detik kedatangan Bapak Wakil Gubernur yang begitu spektakuler. Begitu beliau memasuki forum, segenap orang serentak berdiri. Pasang muka manis-manis, sok akrab meski hanya kenal melalui foto di kalender atau banner menjelang pemilu. Dan terus terang, seorang teman yang kala itu sempat diajak ngobrol oleh Pak Wagub merasa bangga seumur hidup. Semua orang jadi tiba-tiba lupa kalau Pak Wagub pernah membohongi kami saat Pilkada. Seakan kesalahan Bapak menggelembungkan perolehan suara di sebuah dapil di wilayah utara propinsi kami telah dimaafkan semua orang. Berhala datang, semua tersujud-tersujud “menyembah” Sang Berhala dengan kepentingan masing-masing.
Marilah kita baca kembali dua kalimat syahadat untuk meregristrasi iman. Sebab ahir-ahir ini banyak sekali berhala yang tanpa terasa kita ”sembah”. Penulis : Abdur Rozaq