Merdeka Salah Kaprah

795

image

Karena libur tidak nyangkruk dan nyeruput kopi di ”sorga”, malam ini saya bermaksud tidur lebih awal. Tapi sayang, seperti kata Kang Abik—Habiburrahma Asy Syirazy— “tidak semua keinginan harus terpenuhi”. Masalahnya, di poskamling depan rumah, anak-anak muda, anak-anak usia pancaroba, anak-anak yang belum tahu harus berbuat apa, berteriak-teriak menyanyikan lagu sumbang. Dari bermacam album, berbagai group musik atau penyanyi, layaknya penjual DVD bajakan memutar lagu sesuai keinginan calon pembeli.

Saya harus bersabar meski  kebisingan itu sangat mengganggu. Ini negara demokrasi, semua orang boleh dan berhak berbuat seenak perutnya. Meski suara bisingnya bertamu hingga ke kamar saya, di rumah saya, di atas tanah saya “sendiri”, toh mereka ramainya di poskamling. Kalau saya menegur, saya salah. Kebanyakan orang lebih siap merasa benar daripada merasa bersalah. Meski nyata-nyata bersalah pun, jarang ada orang berwatak ksatria : mengakui kesalahnnya.

Benar dan salah itu relatif. Tergantung dari sudut pandang mana?. Maling ayam akan membenarkan tindakannya mencuri ayam, karena ia dilarang cari nafkah secara halal. Toh, gerobak dagangannya diangkut, disita sama pasukan penertib kota. Para koruptor juga menganggap tindakannya menelan uang rakyat adalah benar. Alasannya, pertama, kalau uang negara digunakan buat mensejahterakan rakyat secara cuma-cuma, rakyat bisa jadi manja. Tak bisa menghayati makna kerja keras. Maka, dalam rangka mencapai kebaikan bersama, lebih baik uang itu “diberdayakan” oleh golongan-golongan yang mengerti “aturan main” saja. Masih banyak program-program lebih penting yang membutuhkan dana mendesak. Untuk meningkatkan kinerja para pejabat, misalnya. Untuk itu kan perlu disediakan sarana pendukung yang memadai. Ya, agar mobilitas mereka bisa lebih lancar, mobil dinas perlu diremajakan. Fasilitas-fasilias lain semacam rumah dinas, pesangon-pesangon, asisten pribadi, fitnes centre hingga tukang pijat pribadi juga perlu diberikan kepada para penentu baik-buruknya negara ini.  Kedua, karena kemiskinan itu mendekati kekufuran, maka dipakai saja qaidah fikih ”apabila ada dua bahaya datang bersamaan, maka ambillah yang lebih ringan”. Korupsi memang dosa, tapi kufur akibat miskin kan lebih berdosa. Maka, untuk menghindari dosa kufurnya para elit bangsa, korupsi di-ma’fu, dimaafkan. Dan jika pada ahir tahun  ada sisa anggaran, agar tidak menyulitkan pembukuan, dibuatlah acara-acara mubaddzirdalam rangka menghabiskan sisa dana tersebut.

Dan kasus genjrang-genjreng gitar audisi tengah malam ini , saya rasa merupakan indikasi merosotnya moral, menjangkitnya amnesia jati diri serta terjungkirbalikannya cara pikir masyarakat kita. Seandainya kasus genjrang –genjreng ini terjadi sepuluh atau lima belas tahun silam, saya yakin peristiwa hujan batu seperti yang dialami kaum Nabi Luth akan terulang. Para orang tua akan menggelandang anaknya masing-masing dari poskamling dan mengeksekusi mereka di rumah. Akan ada semacam khutbah tengah malam dengan tema “menjaga ketentraman dalam bermasyarakat”. Tapi , seperti yang sudah saya singgung, ini negara demokrasi!. Semua orang berhak  berbuat seenak perutnya. Bahkan, orang tua bisa terjerat undang-undang HAM jika banyak omong dan sok peduli. Meski segenap fasilitas, sarana-prasarana, bahkan darah daging mereka dapatkan dari orang tua, sekali-kali orang tua tidak berhak mengintervensi urusan dalam negeri si anak muda. Mau ngebut, nge-drug, ngeseks, aborsi, tawuran atau ganti pasangan sebulan lima belas kali, itu “urusan gue”. Tapi ketika  tak berdaya di ruang UGD karena gegar otak, over dosis, pendarahan akibat aborsi atau babak belur  sepulang nonton bola, barulah orang tua boleh ikut campur urusan si anak muda. Ini negara hukum, Bung!. Guru menjewer siswa bisa dipenjara. Tapi siswa mengeroyok guru, entah, belum didiskusikan sanksinya.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.