Sukorejo (wartabromo) – Meski tanahnya bukan penghasil umbi gadung, namun Desa Gunting Kecamatan Sukorejo, Pasuruan memiliki ratusan industri pengolahan keripik gadung. Pengolahan keripik gadung di desa ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan sudah dikenal banyak orang. Lebih dari 150 kepala keluarga di sini menggeluti bisnis olahan keripik berasa gurih ini.
“Warga mendatangkan umbi gadung dari Malang, Blitar bahkan sampai Kediri,” kata Usman, Kepala Dusun Pajaran Desa Gunting yang dikenal sentranya olahan kripik gadung.
Menurut dia, industri olahan keripik gadung di desa tersebut menjual produknya setengah jadi atau mentah dalam bentuk irisan tipis yang sudah siap goreng. Biasanya warga menjualnya pada pengepul yang sudah menjadi langganannya.
Keripik gadung termasuk salah satu jenis panganan yang jarang ditemui karena pengolahan umbi gadung menjadi keripik cukup sulit dengan adanya racun yang terdapat dalam umbi tersebut. Namun, warga Desa Gunting sudah sangat mahir melakukannya.
Proses pengolahan umbi menjadi kripik mentah siap goreng dimulai dengan membersihkannya dari racun. Cara membersihkannya rumit karena memerlukan perlakuan khusus. Setelah dibersihkan dari racun, gadung kemudian diiris untuk menghilangkan kadar racun dalam umbi gadung tersebut. Kemudian diiris tipis-tipis kemudian dilumuri abu kayu lalu dijemur.
Rampung? Tentu saja belum karena “setelah dijemur dicuci lagi dengan air yang mengalir hingga bersih lalu dijemur lagi sampai kering selanjutnya dipacking dan dijual,” kata salah seorang pengolaha kripik gadung.
Sayang, wartabromo tidak bisa mengambil foto-foto proses pengolahan kripik gadung karena belum memasuki masa panen umbi gadung sehingga tidak ada aktifitas pengolahan. Mengobati rasa kecewa, wartabromo pun diajak berkunjung ke rumah Sampuri (58), salah satu pembuat samiler atau opak.
Saat didatangi di rumahnya Sampuri tengah sibuk menjemur samiler di bawah terik matahari bersama istrinya. Samiler merupakan panganan yang terbuat dari singkong dan tepung kanji. Panganan secara umum dibentuk seperti kepingan uang logam namun dengan ukuran sekitar tujuh kali lebih besar.
Di musim penghujan, Sampuri mengaku mampu memproduksi 20 kilogram samiler mentah setiap hari. Sementara pada musim kemarau, bisa mencapai 30-40 kilogram. “Saya jualnya Rp 16 ribu per kilo,” ujar Sampuri sembari menunjukkan sebungkus plastik samiler siap jual. (Tabloid Wartabromo Edisi Mei 2015)