Candi Sumber Tetek dikenal karena selain indah juga khasiat obat yang dipercaya dari air yang keluar dari puting salah satu arca. Keyakinan ini sudah tersohor sehingga pengunjung yang datang pun berasal dari berbagai daerah. “Saya sering ke sini. Kadang sendirian kadang sama keluarga. Kalau jalannya bagus pasti banyak yang datang ke sini,” kata pengunjung asal Surabaya yang datang bersama keluarganya.
Di lokasi ini terdapat sedikitnya empat warung. Kedatangan para pengunjung sangat menguntungkan dan membantu perekonomian mereka. Jika hari minggu mereka bisa agak tersenyum karena pengunjung relatif ramai. Namun saat hari efektif mereka pun gigit jari.
Untuk Sumber Tetek, pemerintah hanya perlu memperbaiki insfrastruktur mulai jalan, petunjuk arah dan membuat fasilitas MCK. Lokasi ini tidak memiliki MCK yang memadahi sehingga membuat pengunjung tidak nyaman. Pengunjung yang ganti baju atau buang air kecing harus memasang mata ke segala penjuru memastika tidak ada orang yang memperhatikan. Jangan tanya buang air besar. MCK di lokasi ini tidak memiliki fasilitas buang hajat.
Selain Candi Sumber Tetek, juga terdapat Candi Jawi, Candi Raos di Kejapan, Candi Gununggangsir di Beji dan candi lain yang tentunya bisa kembangkan. Memang harus diakui tidak semua candi itu punya potensi ekonomi yang bagus — yang bila tidak mendapatkan perhatian serius dan penuh kesabaran akan terus ‘kesepian’.
Candi Gununggangsir, salah satu contoh, sangat sulit dikembangkan agar mampu menarik lebih banyak pengunjung. Candi ini bukan candi utama, dalam arti ‘hanya’ merupakan tugu peringatan atas keberhasilan sistem pertanian masyarakat waktu itu. Candi yang dibangun sebagai tugu biasanya sederhana dan tidak rumit. Candi jenis ini secara umum tidak memiliki nilai estetika yang tinggi sehingga tidak memiliki magnet yang kuat menarik pengunjung. Berbeda dengan candi yang dibangun untuk pertirtaan, peribadatan, candi untuk unjuk masa keemasan maupun situs yang berada di pusat kerajaan.
Candi Gununggangsir hanya dikunjungi segelintir orang tiap pekan. Para pengunjung yang datang biasanya untuk keperluan studi, penelitian maupun tugas belajar. “Saya kesini untuk penetilian, tugas sekolah,” kata Firman, siswa SMPN 2 Kota Pasuruan.
Namun demikian bukan berarti candi ini profitless atau tak bisa dikembangkan sama sekali. Candi yang dibangun akhir abad 10 pada masa Kerajaan Airlangga ini berdiri di atas lahan seluas 62 X 24 meter dengan luas bangunan candi 20 X 17 meter. Pelataran yang relatif luas sangat cocok digunakan sebagai lokasi pementasan seni gerak baik tari atau teater maupun seni musik seperti band dan lainnya. Seni kolosal seperti pegelaran wayang kulit akan sangat amboy jika dipentaskan di lokasi ini. Bangunan candi yang berbentuk segi empat bertingkat semakin mengecil terdiri dari empat lantai sangat pas jadi latar semua pagelaran kesenian.
Jika punya kehendak, tentu saja lokasi ini bisa dipilih sebagai lokasi untuk even-even lain seperti pemilihan Cak-Yuk. Daripada di hotel yang tentu sangat mahal, kenapa tidak dicoba di candi ini? Bayangkan betapa eksotisnya bila cak-cak yang ganteng dan yuk-yuk yang cantik beraksi di situs bersejarah ini. Dengan sedikit sentuhan dekoratif di beberapa titik, candi ini bisa disulap jadi panggung pementasan atau pegelaran yang sangat layak.
Kegiatan-kegiatan lain seperti hari jadi juga bisa memanfaatkan candi ini sebagai lokasi salah satu evennya. Jika mau ‘ngawur-ngawuran’ instansi-instansi pemerintahan bisa juga melakukan rapat atau berkegiatan di sini. Kenapa tidak? Bukankah ada larangan rapat di hotel? Bukankah bupati juga menginginkan agar pejabatnya lebih kreatif dan berpikir out of the box? Toh tidak ada aturan yang dilanggar. Kalaupun tidak seluruh dinas, setidaknya Dinas Pariwisata atau Dewan Kesenian bisa memulainya. Dengan begitu candi akan ramai dan dengan sendirinya perekonomian akan menggeliat.