Pasuruan (wartabromo) – Seperti nasib jawara dan pejuang daerah lainnya, Pak Sakera meninggal dan berhasil ditaklukkan oleh Pemerintah Belanda setelah mereka berhasil menghasut dan memecah belah rasa persaudaraan antar sesama Pribumi.
Dua orang teman seperguruan Pak Sakera selama di Batu Ampar, Madura yakni H. Asik dan H. Bakri telah menjalin persengkongkolan dengan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengalahkan kesaktian Pak Sakera yang memang dikenal bilih tanding dan selama ini sangat sulit untuk ditangkap maupun dibunuh oleh antek – antek Belanda.
“Pak Sakera sulit untuk diketahui persembunyiannya. Kesaktiannya waktu itu tak ada yang bisa menandinginya,” urai Faisol, Kepala Desa Tampong, Rembang dengan logat Maduranya.
Untuk bisa menangkap Pak Sakera, Pemerintah Hinda Belanda kemudian mengadakan sayembara terbuka yakni menjanjikan akan memberikan seluruh hasil penarikan pajak pasar se-Pasuruan (sebagian versi menyebutkan, Pajak Pasar se-Karesidenan ) kepada setiap jawara yang berhasil menangkap dan mengalahkan kesaktian Pak Sakera.
“Pak Sakera sempat beradu kesaktian dengan seorang lelaki misterius. Konon, lelaki itu memiliki kemampuan yang hampir sama dengan Pak Sakera. Tetapi kemudian, ia pergi tanpa melakukan penangkapan pada Pak Sakera,” urai Martina Ari Saraswati, Mahasiswi ISI Jogja seprti yang ditulisnya pada karya skripsinya.
Berdasarkan hasil penelusuran, Gubermen (government) Belanda waktu itu, akhirnya mendapatkan kabar jika Pak Sakera mempunyai dua orang teman seperguruan yang tahu kelemahan Pak Sakera.
Sepak terjang Pak Sakera berakhir dengan sebuah kisah penghianatan yang dilakukan oleh teman seperguruannya.
“Pak Sakera memiliki kelemahan berupa darah sapi. Semua kekuatan Pak Sakera hilang setelah terkena darah sapi yang sudah disiapkan di salah satu lubang oleh antek – antek Belanda,” tambah Martini yang mengaku mendapatkan sumber dari kerabat dekat Pak Sakera.
Menurut sejumlah versi cerita lainnya, selain darah sapi, Pak Sakera juga memiliki kelemahan lain yakni bambu apus atau ilalang.
Peristiwa penangkapan Pak Sakera tersebut, dilakukan dengan cara menggelar hajatan berupa tarian tandak atau tayub dengan penari samirah di Desa Tampung, Rembang.
Samirah merupakan nama penari yang selama ini menjadi idola Pak Sakera. Dimanapun ada tandak yang menampilkan penari Samirah, Pak Sakera sepertinya tak ingin melewatkan kesempatan tersebut.
“Pak Sakera itu nge-fans dengan tandak Samirah,” ujar Bagong Sabdo Sinukerto, pemerhati seni dan budaya Pasuruan.
Sayang, kecintaannya terhadap seni tari tayub tersebut ternyata berbuah petaka. Setelah dirinya menampakkan diri di muka umum.
Salah seorang teman seperguruannya yakni H. Asik berpura- pura mengajak dirinya untuk berlaga seni bela diri di arena Tayub.
Sakera terpelesat dan terjatuh di salah satu lubang ( jawa : Jumbleng) yang telah direkayasa sebagai arena panggung oleh para antek Belanda.
Pak Sakera pun berhasil ditangkap oleh Belanda dan tubuhnya diseret beramai – ramai oleh antek – antek Belanda ke Alun-alun Bangil.
Pria berdarah Madura tersebut menghembuskan nafasnya setelah mendapatkan hukuman dari Pemerintah Belanda.
“Ia dihukum picis (sebagian menyebut, hukum gantung di tengah alun – alun Bangil,”tambah Martini.
Konon, menurut sejumlah cerita warga, saking saktinya, tubuh Pak Sakera tak lecet sedikitpun padahal sebelumnya sempat diseret beramai – ramai dari lokasi awal penangkapan hingga Alun – alun Bangil.
Tak hanya itu, ketaatannya pada agama yang dianuntnya menujukkan bahwa sebelum menjalami hukuman yang kejam tersebut, konon, Pak Sakera sempat meminta untuk bisa menjalankan Sholat Subuh.
“Sekarang, tempat penangkapan Pak Sakera diberi nama Gang Sakera, sementara lubangnya masih ada di dekat pemakaman umum desa sini,” ujar Abdul Mu’in, salah seorang warga Desa Tampung, Kecamatan Rembang.
Sepak terjang Pak Sakera dalam memperjuangkan hak kaum buruh dan hak beribadah seorang muslim di masa penjajah telah menjadi titik awal perjuangan anak bangsa lainnya.
Aksi angkat senjata celurit yang menjadi simbol perlawanan Pak Sakera membuat gerakan baru pada awal abad 19 di kalangan masyarakat bawah untuk bergerak melawan segala bentuk penindasan kaum penjajah.
Mereka mulai berani melakukan perlawanan di berbagai daerah. Sayang, pendidikan yang masih rendah dan politik licik (devide et impera) Pemerintah Hindia Belanda telah membuat anak bangsa itu saling bunuh satu sama lain.
Para Pejuang seperti Pak Sakera diadu dan dihasut dengan kaum Blater (jagoan) pribumi untuk saling berkhianat satu sama lain dengan iming-iming harta.
Pak Sakera yang sebelumnya sempat dicap sebagai ekstrimis oleh Pemerintah Belanda, Bromocorah dan penjahat kejam oleh antek – antek Belanda.
Kini, nama besarnya tetap abadi dan menjadi sebuah legenda sejarah rakyat. Sakera tak hanya pejuang lokal berdarah Madura tapi juga Mbah Buyut sebuah Budaya.
Tak hanya menjadi lakon cerita rakyat dalam seni tradisional pertunjukan ludruk, kisah Pak Sakera pun sempat mendapatkan perhatian dari industri perfilman tanah air pada tahun 1982.
Sutradara dan penulis skenario BZ Kadaryono membuat Film berjudul Pak Sakera dengan artis film ternama di era 80-an antara lain WD Mochtar sebagai Sakera, Alan Nuari (Brodin), Minati Atmanegara (Marlena, isteri muda) Chintami Atmanegara, Tien Kadaryono (Kinten, istri tua), Usbanda, Chaidar Djafar dan Sofia WD.
Kini setelah Indonesia mengenyam kemerdekaannya, sosok Pak Sakera terus menjadi inspirasi kreatif anak bangsa mulai dari pejabat, seniman, pengusaha dan profesi – profesi lainnya.
Bahkan, baju dan odheng (ikat kepala) lelakon-nya yang biasa ia kenakan selama hidupnya telah menjadi baju kebanggaan masyarakat mulai dari Pulau Madura hingga seluruh keturunannya yang tersebar di Indonesia.
Kabupaten Pasuruan sebagai wilayah yang paling banyak meninggalkan petilasan dan jejak perjuangan Pak Sakera agaknya patut berbangga dan segera terbangun untuk melihatnya, mengelola, memelihara dan menjaganya sebagai cagar budaya dan potensi daerah. Merdeka! (yog/yog)