Sukorejo (wartabromo) – Siapa sangka jika tanaman khas masyarakat Papua, Matoa (Pometia pinnata) ternyata bisa tumbuh subur di wilayah Kecamatan Sukorejo, Pasuruan. Tanaman yang tingginya rata-rata 18 meter itu tumbuh dan mulai berbuah di Desa Mojotengah, Desa Glagasari dan desa Lemahbang Kecamatan Sukorejo.
Potensi tanaman yang umumnya hanya dijumpai di Sulawesi, Maluku, dan Papua New Guinea itu pun langsung mendapatkan perhatian serius dari pihak pemerintah setempat.
Camat Sukorejo, Diano Vela Fery Santosa bersama paguyuban kepala desa di wilayah Sukorejo melakukan pengadaan ribuan bibit Matoa dari Papua untuk bisa ditanam di wilayah Sukorejo.
“Saat ini sudah terdistribusi sekitar 2500 bibit. Support masih non APBD, target tahun ini bisa ditanam 10.000 bibit,” Kata Diano pada wartabromo penuh bersemangat.
Menurutnya banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah bersama petani untuk mempopulerkan buah khas ini di wilayah Sukorejo. Pasalnya, selain potensi tanaman yang memiliki pangsa pasar bagus, niatan membumikan tanaman yang berbuah sekali dalam setahun itu juga didasari untuk menjadikan Go Sukorejo Green.
“Ini kan bisa juga sebagai salah satu upaya branding, tinggal strategi memasarkannya,” tambah mantan Sekretaris BLH Kabupaten Pasuruan ini.
Untuk diketahui, buah matoa memiliki rasa manis (manis legit) beraroma campuran antara rambutan, durian, dan kelengkeng. Bentuk buahnya lonjong, seukuran buah pinang, ketika muda berwarna hijau dan setelah matang berwarna hijau kekuningan atau coklat kemerahan atau kehitaman. Matoa memiliki nilai jual yang tinggi dimana per kilo buah ini dinilai seharga Rp. 30.000.
Matoa dibagi menjadi dua jenis yakni matoa papeda dan kelapa. Matoa Papeda memiliki ciri-ciri daging buah yang kenyal seperti rambutan aceh, sedangkan Matoa Papeda dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0 cm.
Rencananya, penyebaran bibit akan menyesuaikan situasi dan kondisi serta perhatian warga dan petani di wilayah Sukorejo.
“Kalau mencontoh rambutanisasi di Blitar era 70-an, ya lebih efektif tiap pekarangan warga. Biar kelak ada nilai ekonomisnya,” pungkas Diano. (yog/yog)