Tentu saja contoh mitigasi yang penulis berikan sangat tak ideal. Namun tentu saja banyak upaya mitigasi yang lebih baik yang bisa dilakukan untuk permasalahan kronik tersebut. Sebagian besar warga mungkin sudah muak. Warga butuh kepastian, bahwa banjir tidak akan terulang tahun depan.
Meskipun di beberapa wilayah banjir cepat surut dan tidak menyebabkan korban jiwa, namun banjir bisa melumpuhkan aktifitas ekonomi, melumpuhkan aktifitas sosial kemasyarakatan, melumpuhkan aktifitas pendidikan dan keagamaan. Banjir juga menebar ancaman penyakit pada warga.
Siapa yang akan menalangi kerugian material akibat lumpuhnya kegiatan ekonomi? Siapa yang bertanggungjawab dengan tertundanya seluruh aktivitas sosial kemasyarakatan? Siapa yang mengganti hilangnya ilmu yang seharusnya didapatkan para siswa karena terpaksa tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar akibat sekolahnya terendam? Siapa yang mau ikut merasakan dingin akibat banjir, serta penyakit yang datang kemudian? Belum lagi kerugian material dan nonmaterial akibat terputusnya jalur pantura? Semua pasti angkat tangan!
Selain upaya mitigasi, tentu saja warga korban banjir membutuhkan sentuhan hangat dari para pemimpinnya. Mereka butuh kehadiran pemimpin untuk sekedar berbagi keluh kesah. Mereka butuh kasih sayang.
Mereka tentu saja mengharapkan pemimpin mereka datang ke lokasi banjir, masuk ke dalam genangan air dan turut serta merasakan penderitaan mereka. Mereka tentu bahagia melihat pemimpinnya ikut berbasah-basahan.
“Sabar Ibu… Sabar Pak. Kami akan berusaha sekuat tenaga agar musim depan tidak ada banjir lagi di sini,” kalimat itu jika diucapkan seorang pemimpin yang terjun ke lokasi banjir akan menjadi obat penawar dari segala duka akibat dampak banjir. Mereka akan kuat menghadapi dingin, lapar dan segala macam penyakit yang mengancam. (fyd/fyd)